Pagi hari itu semua terasa berbeda, saat suara adzan berkumandang bersamaan dengan suara jerit tangis Jihan yang baru kehilangan bunda dan adik kecilnya yang masih di dalam kandungan.
"Aba ...," lirih suara Jihan terdengar. Aba merangkul bahu putrinya dan menangis bersama.
Dua puluh tahun usia Jihan, memiliki adik impiannya sejak lama. Hingga bundanya memberitahu kabar kehamilan itu setelah dua puluh tahun Jihan lahir.
Satu bulan lagi bundanya melahirkan, tetapi Allah menginginkan lain. Bunda meninggal karena sesak napas yang berkepanjangan. Tiba-tiba terkena serangan stroke dan jantung. IGD rumah sakit menjadi saksi kehilangan yang teramat sangat. Jihan diam. Membelai wajah bunda yang tidur dalam damai bersama adiknya yang tidak bisa diselamatkan juga.
"Bundaaa, Jihan sayang Bunda, Jihan janji akan berusaha jadi anak yang bisa kirim doa setiap saat untuk Bunda dan Adek, Jihan janji akan jadi anak sholeha Ayah dan Bunda, Jihan janji Bunda, Jihan janji." Jihan terisak hingga terjatuh tak sadarkan diri di samping jenazah bundanya yang tampak tersenyum cantik. Semua pelayat merasakan kesedihan dan haru yang sama. Kebaikan hati ibunda Jihan menjadi tanda banyaknya pelayat yang datang mendoakan dan memaafkan kesalahan ibunda Jihan selama hidupnya. Tubuh Jihan di bopong Aba. Aba panggilan Jihan untuk ayahnya.
Pemakaman bunda dan adiknya ramai dihadiri pelayat karena bunda seorang ustadzah di komplek perumahannya. Aba seorang staff perushaan haji dan umroh. Jihan, mahasiswi jurusan perbankan syariah di Universitas terkenal di ibu kota.
"Ikhlasin Bunda, Aba," lirih Jihan. Aba masih berat melihat wanita serta anak yang ditunggu-tunggu pergi secepat ini. Air mata masih menetes, pun membasahi wajah Jihan juga. Jihan bersimpuh di samping makam sang bunda dan adiknya. Menatap hampa seakan bunda membawa serta separuh hatinya pergi.
"Bunda ...," lirih Jihan masih tak kuasa menahan air mata.
"Kuat sayang. Takdir Allah. Semua Allah yang tentuin, ayo pulang nak, istirahat sayang, udah waktu sholat, kita doain Bunda, yuk," rangkul Aba sambil membantu Jihan berdiri. Mereka pun pulang ke rumah sederhana dengan perasaan berat. Keduanya berusaha saling menguatkan bagaimanapun juga.
Jihan menatap seisi rumah dengan nanar dan perasaan hampa. Biasanya ada suara bunda yang sering bawel karena sikap Aba yang terlalu santai melakukan hal lain, kecuali untuk urusan pekerjaan dan ibadah, tidak ada penundaan.
"Bundaaa, Jihan harus apaaa ...." Tangisnya sambil mengepalkan jemari dan duduk di meja makan. Sendirian. Aba sedang sholat di kamar.
Pundaknya dibelai lembut. Jihan menoleh. "Enggak baik meratap orang yang udah pulang ke Allah, seberat apa pun itu, Nak."
"Aba, Jihan cuma bingung, apa yang Jihan harus lakukan, mulai dari mana, dan gimana?"
"Kita bisa. Bismillah, kita mulai dari tetap lakuin apa yang sehari-hari Bunda kerjakan, mungkin berat buat kamu jalani, kayak setelah subuh langsung bikin sarapan dan beresin rumah sebelum waktu sholat dhuha, sebelum Bunda pergi pengajian."
"Iya, Ba, tapi Jihan kan bukan ustadzah?"
"Siapa yang nyuruh kamu jadi kayak Bunda seratus persen, enggak Nak, kebiasaan lainnya."
Jihan menghapus air matanya. Mencoba bangkit dari kesedihan di hati dengan cepat, mencerna semua ucapan Aba. Ia juga sadar, Aba dan dirinya belum makan sejak siang hari.
"Enggak usah masak dulu, beli dulu aja ya, nanti Aba telpon ke langganan kita beli makanan."
"Iya." jawabnya, lalu Jihan memilih menuju ke kamarnya, mandi sore dan melakukan sholat ashar.
***
Jihan berpikir keras untuk mengontrol semua perasaan kehilangannya. Mencoba kembali hidup normal hanya berdua dengan Abanya. Keluarga jauh di pulau sebrang, walau ada juga yang cukup dekat, tapi hal itu justru membuat ia dan Aba harus menata kembali serpihan hati yang hilang berdua saja.
"Jihan, sini duduk." Aba memanggil anak gadisnya yang baru selesai sholat ke arah ruang TV.
"Ya, Ba." Jihan duduk di sebelah Aba.
"Udah nggak sedih, 'kan? Eh bukan, maksud Aba, udah bisa kontrol kesedihan dan nggak meratapi kepergian Bunda dan Adek, 'kan?" Aba menatap raut wajah Jihan yang sembab. Jihan mengangguk pelan.
"Kita semua akan kembali Jihan, itu pasti, sebisa kita terus jalani hidup ini sebaik mungkin, bunda meninggalkan banyak kenangan di hidup Aba dan kamu, Bunda perempuan yang nggak banyak mau, selama dua puluh dua tahun hidup bersama, Bunda nggak pernah sedikit bikin Aba marah sampai berhari-hari atau berjam-jam malah, Bunda selalu punya cara untuk meredam emosi Aba, emosi apa pun, termasuk kesedihan."
Jihan mengangguk.
"Lewat apa coba, inget nggak cara Bunda lewat apa?" tatap Aba ke Jihan. Jihan lalu menunduk sambil tersenyum.
"Dzikir, Ba, sama istighfar," jawab Jihan.
"Lakuin ya, Nak, sebisa dan sesering kamu." Aba lalu memeluk anak gadisnya yang sudah dewasa itu dengan penuh kasih sayang.
"Serahkan ke Allah, semua akan baik-baik saja Jihan."
"Iya, Aba," jawab Jihan sambil menyandarkan kepala di bahu Abanya.
Bulan berganti, Aba sudah ikhlas begitu pun Jihan. Tapi masalah berganti, Aba kesulitan dalam hal keuangan di rumah. Tempat Aba bekerja sedang ada masalah karena pembatasan kuota haji dan persaingan lainnya.
"Aba."
"Ya, Nak."
"Jihan kerja, ya."
"Di mana?" Aba menghentikan kegiatan menghitung arus keuangan keluarganya di sebuah buku.
"Temen ada yang nawarin kerja di tempat penitipan anak. Tugasnya rawat anak-anak yang di titip di sana, dan sambil ajarin mereka."
"Kuliah kamu?"
"Udah skripsi, 'kan, Ba, dua bab lagi selesai dan tinggal tunggu sidang."
Jihan menarik kursi meja makan dan duduk di sebelah Abanya. "Aba, apa kita pindah rumah? Terlalu besar ba rumah ini, kita berdua doang."
"Jangan, Nak. Banyak kenangan Bunda di rumah ini, walau bayar cicilannya lumayan besar."
"Iya, Ba. Yaudah, Aba izinin Jihan kerja, 'kan?"
"Iya, bismillah, ya, dan hati-hati." Aba mencolek hidung bangir putrinya, Jihan mengangguk.
Aba mencicil rumah yang ditempati melalui perusahaannya, potong gaji, tidak ada bunga, karena menggunakan sistem jual beli Murabahah. Di mana perusahaan membeli rumah dengan menambahkan margin atau keuntungan yang akan diminta perusahaan setelah terjadi kesepakatan bersama. Cicilan flat sampai lunas dengan nilai yang sama dari awal sampai akhir.
Dengan kondisi krisis begitu, Jihan pun berpikir dan harus bergerak mencari rezeki untuk membantu Aba yang kesulitan.
"Bismillah, pasti ada jalan. Semangat Jihan," ucap Jihan sambil duduk di depan laptop untuk membuat dan mengirim lamaran pekerjaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senyawa (Repost) ✔
RomanceBlurb : Cinta itu butuh kepercayaan, yakin, juga ikhlas menerima segala kekurangan. Karena kelebihan itu hal biasa. Jihan dan Abay, mereka menerima itu, bahkan disaat ujian berat datang menghampiri, tidak ada satu alasan untuk keduanya tidak Senyaw...