Mobil sedan abu-abu itu melaju membelah jalan bebas hambatan di jam empat sore. Sebelumnya mereka melakukan sholat berjamaah untuk pertama kalinya. Untuk pertama kalinya juga Abay menjadi imam seorang wanita. Biasanya sekedar untuk jadi imam bunda dan kedua kakaknya saja ia tak mau. Alasannya karena ada ayah. Begitulah Abay.
Jihan mengirim pesan teks ke Abanya, memberi tahu kalau mereka sudah dijalan entah menuju ke mana.
"Aba di rumah atau di masjid?" tanya Abay sambil melirik sesekali ke Jihan.
"Masjid, katanya mau ada rapat pengurus," jawab Jihan lalu memasukan ponsel ke dalam tasnya.
"Mas Abay." Jihan menoleh menatap Abay yang terlihat cool menyetir mobil dengan santainya. Tubuhnya bersandar di jok.
"Ceritain tentang kamu, aku mau tau," pinta Jihan. Abay tersenyum.
"Apa dulu yang mau kamu tau?" Abay balik bertanya.
Jihan berpikir sejenak. Ia mengerutkan keningnya.
"Aku lahir tanggal lima april tiga puluh tahun lalu, anak bungsu dari tiga bersaudara, gelar sarjana aku manajemen, gelar magister aku perbankan syariah, sekarang ngajar jadi dosen, dan jadi suami Jihan," ucap Abay sambil terkekeh. Jihan mengulum senyum saat kalimat terakhir terucap dari bibir Abay.
"Kalau hobby, makanan? Atau kebiasaan-kebiasaan kamu?" tanya Jihan lagi.
"Nanti kamu juga tau, kalau itu seiring berjalannya waktu kita berdua aja, nggak bisa di jabarin, pelan-pelan nanti kita masing-masing juga tau."
Jihan manggut-manggut. Lalu tak lama ia menepuk keningnya. Seakan melupakan sesuatu.
"Kenapa?" Abay menoleh.
"Aku lupa mau ajak kamu ke makam bunda dan adik aku." Raut wajah Jihan berubah sendu.
"Pulang liburan kita ke sana, tenang." Abay mengusap kepala Jihan yang tertutup kerudung. Jihan mengangguk lagi.
"Jihan."
"Ya."
"Kalau aku kerja kantoran plus ngajar, masalah nggak buat kamu?"
"Kenapa harus masalah, aku juga kerja walau nggak di bank."
"Masalahnya aku pasti sibuk, apa kamu nggak bakal ngomel-ngomel nanti," kekeh Abay sambil teringat bundanya yang suka ngomel-ngomel saat ayahnya sibuk kerja dikantor dan mengurus usaha lainnya juga.
"Enggak, aku yakin kamu pasti bisa bagi waktu kok, asal jangan lupa ibadah kamu, inget sama yang kasih rejeki kamu, Mas."
"Tapi kalau aku kelupaan waktu buat kasih perhatian kamu, ingetin aku biar aku berhenti, kadang ya, kelemahan aku itu, kalau udah sibuk kerja atau ngerjain sesuatu suka lupa sekitar."
"Bukannya salah satu tugas istri gitu, Mas, jadi alarm buat suaminya. Asal suaminya mau di ingetin, kalo nggak mau ya paling istrinya ngomel-ngomel, demi kebaikan juga padahal." Jihan dan Abay saling menatap. Abay tersenyum. Ia menyampingkan posisi duduknya dan mengarahkan kepala ke samping Jihan.
"Apaan, Mas?" Jihan mendelik kaget.
"Nih, minta hak yang ini dulu," ucap Abay sambil menunjuk ke pipi kirinya. "Mau ngerasain dicium istri sendiri," lirik Abay. Jihan menatap bingung, lalu mencium pipi Abay dan kembali duduk tegap. Abay senyum-senyum. Ia kembali fokus menyetir.
"Pasti kamu biasa ya dicium-cium atau nyium perempuan?" Pertanyaan serangan balik dari Jihan. Abay mengerutkan dahi.
"Maksudnya?"
"Mmm, aku pernah lihat kamu rangkul dan cium perempuan mas, di toko buku,"
DEG.
Abay diam. "Ceweknya cantik, tinggi, rambutnya panjang, senyumnya manis banget," ucap Jihan sambil tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senyawa (Repost) ✔
RomanceBlurb : Cinta itu butuh kepercayaan, yakin, juga ikhlas menerima segala kekurangan. Karena kelebihan itu hal biasa. Jihan dan Abay, mereka menerima itu, bahkan disaat ujian berat datang menghampiri, tidak ada satu alasan untuk keduanya tidak Senyaw...