Jihan diam, ia terus memikirkan ucapan Yasmine. Ia tak tahu harus berbuat atau merespon apa. Ia tak mau seakan Abay mempermainkan pernikahan. Walau kenyataannya pernikahan Abay dan Mela berakhir juga.
Jika cinta memang akan menemukan jalan yang tertuju pada satu titik. Sesulit apa pun jalan yang ditempuh akan sampai di ujung tujuannya.
Jihan diam. Ia duduk menunduk. Ada fakta lain yang ia sembunyikan tentang dirinya.
***
Abay tersenyum saat mengetahui bahwa Yasmine bertemu dengan Jihan, akhirnya hal itu dibuka Yasmine sendiri. Faiz yang melihat ayahnya senyum-senyum sendiri, mendadak beranjak. Remaja itu terkekeh sambil mengambil kunci motor.
"Kemana, Iz," tanya Abay sambil menoleh dan mengikuti arah anaknya berjalan.
"Cari Bunda Jihan, mau Faiz bawa ke sini, serem lihat Papa cengar cengir gitu."
Abay tertawa. Ia melempar topi ke arah anaknya yang ditangkap tak meleset dengan tangan Faiz.
"Assalamualaikum," pamit Faiz.
"Waalaikumsalam," jawab Abay. "Eh, Faiz! Kamu mau kemana! Masih belum punya SIM! Jangan aneh-aneh!" Abay mengejar putranya hingga ke garasi.
Faiz menoleh, "ke minimarket, Pa, jajan. Faiz tau, kok. Mau titip sesuatu nggak, Pa?"
"Nggak. Langsung pulang, ya, kamu masih SMP, nggak seharusnya Papa izinin kamu bawa motor sendiri." Abay menghela napas, Faiz tersenyum tipis lalu melajukan sepeda motor keluar garasi rumah. Abay kembali ke dalam rumah, lalu mengambil ponsel dan membuka album foto. Ia melihat foto Jihan dengan pakaian gamis dan hijab panjang berwarna hijau botol sedang duduk di depan taman pesantren tempat ia tinggal selama ini. Foto itu diambil diam-diam oleh Yasmine.
"Assalamualaikum cinta, tunggu aku jemput kamu ya," lirih Abay sambil tersenyum. Pria yang hampir berusia empat puluh itu juga sudah berubah. Ia menjadi lebih alim, dengan memperdalam agama juga. Mendidik anak satu-satunya dengan cara seperti sahabat. Delapan tahun waktu terlewatnya untuk melihat tumbuh kembang Faiz.
Ia tersenyum geli mengingat bagaimana ia dan Jihan dulu bertemu, menikah, hingga masing-masing memiliki perasaan yang teramat dalam.
Bunyi bel terdengar, Abay berjalan menuju kepintu. Dilihatnya mobil hitam terparkir di depan rumah mereka. Dua orang sudah berdiri di depan pagar. Menatap Abay sambil tersenyum.
"Assalamualaikum, Bay," ucap Kyra. Lalu disusul Adityo.
Abay membalas salam dan membukakan pagar. Ia mempersilakan kedua temannya itu masuk ke dalam rumahnya, duduk bersama di ruang tamu.
"Duduk aja, dapur masih nggak pindah kan, gue aja yang bikin minum," ujar Kyra sambil beranjak dan berjalan ke dapur. Adityo hanya tersenyum melihat istrinya yang makin cantik setelah berhijab.
"Apa kabar, Dit?" tanya Abay.
"Baik. Lo apa kabar." Adityo duduk tegap. Seakan merasa terbebani sesuatu.
"Alhamdulillah baik. Lo udah pindah tugas lagi?" Abay yang tampak santai tampak tak terganggu dengan sikap Adityo yang menatapnya dengan tatapan beda.
Kyra kembali dengan tiga cangkir teh manis hangat. Ia lalu duduk disebelah suaminya.
"Udah jadi duda lagi? nggak bilang-bilang," ledek Kyra sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya.
"Gue mau kasih tau elo tapi nomer gue di block elo, 'kan. Tapi sebentar lagi udah nggak, gue mau bawa pulang Jihan, mau nikah sama dia lagi Ky," ucap Abay penuh harap, terlihat dari raut wajahnya.
Kyra menatap lekat Abay. Adityo menunduk. "Lo tau Jihan dimana, dan keadaannya, Bay?" tanya Adityo. Abay mengangguk.
"Dia sama kalian, 'kan, dan Jihan baik-baik aja. Jadi guru dipesantren, 'kan?" jawab Abay santai.
"Ada yang kurang baik dari Jihan, Bay," ucap Kyra.
"Bisa berangkat ke sana secepatnya, bareng kita, Bay," ucap Adityo. Raut wajah Abay berubah.
"Ada apa? Apa ada yang nggak beres sama Jihan?" Abay menegang. Jantungnya berdebar hebat.
Kyra membuka layar ponselnya sambil jemarinya bergerak lincah mencari sesuatu lalu memberikan ke tangan Abay.
Wajah Abay tampak terkejut. Tangannya bergetar. Apa yang ia lihat menyayat hatinya seketika. Terasa perih, sakit dan hancur.
Jihan berada di rumah sakit, terbaring lemah dengan banyak selang infus dan obat-obatan. Tubuhnya kurus sejak beberapa tahun kebelakang yang Abay ingat.
"Kanker, Bay, Jihan sakit," ucap Kyra berusaha kuat. "Jemput dia pulang, Bay, jemput," suara Kyra bergetar. Kyra menangis. Adityo mengangguk.
"Sekarang, Bay, kita ke sini sengaja jemput lo. Dua hari lalu, setelah Kak Yasmine ketemuan sama Jihan, ia pingsan dan muntah darah. Pihak pesantren hubungin gue, gue sama Adityo langsung bawa Jihan ke rumah sakit. Dan kondisinya udah begini, selemah ini."
"Innalillahi, Ya Allah." Abay meletakkan ponsel Kyra. Lalu menatap ke kedua temannya ini.
"Ayo kita ke sana." ucap Abay sambil beranjak.
"Faiz ikut, Pa. Faiz ikut." Faiz berdiri di depan pintu dengan air mata yang sudah menetes. Ia teringat pertemuan pertama dengan Jihan. Wanita baik yang tak menyalahkan kehadiran dirinya, justru mendekatkan dengan cara cepat ke Abay. Justru hatinya dibuat remuk oleh kenyataan itu.
***
Diperjalanan, Abay terus menghubungi ummi Ray, untuk menyiapkan kamar rawat di rumah sakit tempat ummi Ray bekerja. Semua kompak. Bunda bahagia mendengar Jihan akan kembali walau dalam keadaan sakit seperti itu.
Abay terus berdoa, mendoakan kesembuhan bagi Jihan. Ia tak mau kehilangan Jihan secepat ini. Ia akan berjuang supaya Jihan sembuh. Tujuannya itu.
Perjalanan dua belas jam pun membuahkan hasil. Abay dan Faiz berjalan menyusuri lorong rumah sakit diikuti Kyra. Sedangkan Adityo menuju ke tempat lain. Mereka sampai di depan pintu kamar rawat. Kyra masuk lebih dulu. Ia melihat Jihan sedang tertidur pulas, masih dengan hijab yang tak pernah lepas dari kepalanya walau ia mengenakan pakaian pasien rumah sakit.
"Assalamualaikum, Jihan," ucap Kyra. Kyra mengusap jemari tangan Jihan. Jihan terbangun dan menoleh kearah Kyra.
"Mba Kyra."
"Assalamualaikum," sapa Kyra lagi sambil tersenyum.
"Wa'alaikumsalam, Mba, Mba Kyra ke mana aja, semalem nggak di sini ya," tanya Jihan sendu. Kyra mengangguk.
"Sakit?" tanya Kyra dengan suara tertahan. Ia juga berusaha menahan air matanya. Jihan mengangguk.
"Alhamdulillah, subhanallah sekali rasanya, Mba, nikmat." Jihan tersenyum.
"Assalamualaikum," suara itu terdengar. Jihan diam mematung. Jemarinya dingin. Sosok Abay muncul. Wajah tampan yang selama ini Jihan rindukan kini berada di hadapannya. Tak berubah sedikitpun. Tersenyum, walau tampak kedua matanya memerah.
"Wa'alaikumsalam, Mas– Abay," jawab Jihan terbata. Lalu air matanya berlinang. Ia tak bisa menahan perasaan di hatinya lagi. Tak sanggup. Terlalu berat.
Abay menunduk. Bahunya bergetar. Ia pun menangis. Lalu Faiz berjalan ke arah Abay dan memeluk tubuh ayahnya yang tingginya sudah sejajar.
"Faiz?" Sapa Jihan yang tampak terkejut. Faiz melepaskan pelukan.
"Assalamualaikum Bunda Jihan," sapa Faiz yang ikut berderai air mata.
Air mata itu terhenti saat Abay duduk di kursi yang diletakkan di samping brankar. Ia berbicara serius dengan Jihan. Disaksikan Kyra dan Faiz.
"Will you marry me again, Jihan?" Abay tersenyum. Jihan terkekeh. Senyuman pertamanya setelah bertahun-tahun lamanya.
Jihan menganggukan kepala. Kyra terduduk dan menangis. Ia terlalu bahagia hingga Adityo yang baru datang terkejut dan berlari ke istrinya. Dua orang di belakangnya ikut masuk kedalam kamar rawat Jihan.
To be continue,
KAMU SEDANG MEMBACA
Senyawa (Repost) ✔
RomanceBlurb : Cinta itu butuh kepercayaan, yakin, juga ikhlas menerima segala kekurangan. Karena kelebihan itu hal biasa. Jihan dan Abay, mereka menerima itu, bahkan disaat ujian berat datang menghampiri, tidak ada satu alasan untuk keduanya tidak Senyaw...