Kritik dan Saran

162 42 2
                                    

Suara tangisan bayi terdengar di kamar rumah sakit. Kedua mertua Jihan, Abay, dan anggota keluarga lainnta ramai-ramai mengunjungi anggota keluarga yang baru lahir. Atalea keyra wiryoko. Putri cantik yang lahir di bulan Ramadhan menjelang idul fitri. Jihan menggendong bayi itu dengan mata berbinar. Semua anggota keluarga tampak bahagia.

Tapi tidak dengan Abay, karena itu bukan anak ia dan Jihan, itu anak ummi Rayner alias adiknya Ray. Abay duduk sofa yang ada di kamar rawat itu. Bertopang dagu menatap Jihan yang sumringah dengan bayi mungil di tangannya.

Pernikahan mereka sudah satu tahun lebih sedikit, belum ada tanda-tanda kehamilan dari Jihan. Ia berjalan mendekat menuju Abay dan duduk disampingnya.

"Cantik ya, Mas, Masyaaallah." Hidung Jihan ia sentuh ke pipi dan dagu bayi itu. Bunda dan ayah menatap sambil tersenyum kearah Jihan. Rayner mendekat dan duduk di sebelah Jihan sambil menciumi adiknya begitu juga menciumi pipi Jihan dengan gemas.

"Onti masih sayang Ray, 'kan, nggak cuma sayang Key aja?" bisik Ray lalu menatap dengan tatapan sendu.

"Iya Ray. Onti akan sama sayangnya kok." Semua tertawa. Tapi tidak dengan Abay. Jihan menatap bingung kepada suaminya itu namun, ia urungkan bertanya.

***

"Mas Abay, kenapa tadi diem aja di rumah sakit?" tanya Jihan saat sedang memasukan pakaian yang baru selesai ia setrika kedalam lemari pakaian mereka berdua.

"Hm, itu, Jihan." Abay menatap Jihan sambil memeriksa tugas mahasiswanya melalui layar laptop.
"Sini duduk, aku mau ngomong."

Jihan menutup lemari pakaian lalu berjalan ke Abay dan duduk ditepi tempat tidur. Sedangkan Abay duduk dikursi meja kerjanya di kamar.

"Kita periksa ke dokter yok, buat ngecek aja." Abay berbicara dengan pelan supaya tidak terkesan memaksa atau menyuruh.

"Iya. Kapan Mas Abay mau periksanya?" Jihan balik bertanya.

"Aku lihat jadwal dulu, ya, kamu nggak marah atau tersinggung kan aku minta kita masing-masing periksa?"

Jihan tersenyum lalu beranjak. Kedua tangan memeluk leher suaminya dari belakang dan meletakan dagu dibahu Abay.

"Enggak Mas Abay, aku paham kamu pingin banget aku hamil. Udah setahun lebih juga pernikahan kita, 'kan, wajar, aku paham." Jihan mencium pipi suaminya itu.

"Makan, yuk. Besok mau sahur pakai ayam bakar lagi nggak?" Jihan mengendurkan pelukannya tapi Abay menahannya.

"Peluk aku Jihan, peluk terus ..., aku nyaman ada dipelukan kamu kayak gini." Abay memejamkan matanya. Jihan tersenyum dan kembali memeluk suaminya dengan menempelkan pipinya di pipi Abay.

"Aku cinta kamu Mas Abay, sabar ya, mudah-mudahan penerus kamu nggak lama lagi ada diperut aku," bisik Jihan. Abay mengangguk sambil memejamkan mata dengan posisi nyaman berada dipelukan istrinya.

Tidak ada wanita yang tidak berpikir tentang kehamilan. Sebenarnya Jihan sudah pernah periksa saat menemani Ummi Rayner kontrol kehamilan. Itu juga karena bujuk rayu kakak iparnya itu. Tapi ia tak bilang Abay. Kata ummi Ray,ada beberapa hal yang bisa jadi rahasia seorang istri demi kenyamanan suami, selama nggak melanggar agama dan hubungan suami istri itu sendiri.

***

Abay baru selesai rapat bersama para pemimpin bank tempat ia bekerja. Pandangannya lurus menatapan jalanan yang tampak ramai di siang hari itu.

"Puasa, 'kan lo, Bay?" Bahu Abay ditepuk Dino, rekan sejawatnya di divisi analisa resiko.

"Puasa, lah. Gila kali lo, nanyanya bener-bener," jawab Abay lalu kembali menerawang.

"Kenapa lo." Dino ikut menatap ke luar jendela besar gedung kantor tersebut.

"Gue udah bilang ke Jihan tentang periksa kesehatan kita berdua, tapi kenapa gue khawatir ya?" Abay menoleh ke Dino.

"Kalo kata istri gue si, wajar kalau pasangan khawatir, salah satunya maksudnya, ya karena ini kan menyangkut masa depan keturunan lo berdua. Gue yakin lo berdua sehat dan subur kok. Badan tinggi gede gini masa nggak tokcer," ledek Dino.

"Takut aja, kan ada jaman sekarang yang kayak gitu. Tau-tau ternyata, mandul," ucap Abay pelan.

"Enggak lah. Gila lo. Jangan ngaco kalo ngomong. Optimis dan positif aja mikirnya. Saran gue, pas periksa, lo tanya ke dokternya dengan rinci, sampai ke urusan posisi yang tokcer." Dino lalu menepuk bahu Abay.

"Posisi ngaruh emangnya?" Abay melirik ke Diko yang terkekeh.

"Yaiyalah, bos, salah satu hal yang bikin kualitas 'itu' cepet jadi atau nggak, selain pastinya rejeki Allah ya, gue nggak berani kalo pastiin sebuah posisi berhubungan akurat apa nggak biar istri bisa hamil. Dosa gue nanti kesannya peramal, walau penelitian udah banyak bukti,tapi, tetep semua diserahkan kepadaNYA."

Abay manggut-manggut. Ia termenung. Lalu telpon masuk ke ponselnya. Ia menatap layar dan melihat nama tantenya.

"Assalamualaikum, Tan," ucap Abay.

"Waalaikumsalam, Abay, sabtu ini ke rumah Tante, ya, Om sama Tante mau bikin santunan Ramadhan kasih tau Jihan, ya."

"Oh iya, Tan, nanti aku sampikan ke Jihan."

"Iya. Eh iya, Bay, Tante mau tanya, Jihan belum hamil ya?!" Pertanyaan tantenya itu membuat Abay terjengat dari duduknya dan berdiri dengan tubuh menegang.

"Belum Tante, belum rejeki dari Allah," jawab Abay santai.

"Bay. Coba cek. Takutnya ada masalah di Jihan. Kalian kan kenal juga sebentar trus nikah. Takutnya ada apa-apa. Periksa ya, Bay. Takutnya mandul."

Hati Abay serasa ditusuk pisau berkali-kali. Ia diam. Lalu tersenyum. "Terus kalau mandul kenapa Tante? Abay nggak akan pisah atau tinggalin Jihan, begitu pun Jihan, kita bisa adopsi anak, keponakan banyak, bisa dianggap anak kita, 'kan?!"

"Beda dong, Bay. Periksa pokoknya ya," ucap tantenya.

Abay mendengus. "Kalau Abay yang mandul gimana?," pertanyaan Abay membuat tantenya diam beberapa saat.

"Tante yakin keturunan kita sehat dan subur, Bay, bukan di kamu masalahnya."

Abay meremas ujung meja. Ia diam sambil memejamkan mata menahan kesal dengan ucapan tantenya.

"Abay mau ke Musala, Tante, makasih infonya nanti disampein ke Jihan, assalamualaikum."

"Ok, waalaikumsalam."

To be continue,

Senyawa (Repost) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang