Rasa Ini

160 43 0
                                    

Senyum mengembang di wajah Abay dan Jihan, mereka akan segera dikaruniai anak. Kehamilan Jihan masuk usia lima minggu. Kantung janin tampak di dalam rahim Jihan saat USG dilakukan.

Abay tak hentinya mengucap syukur dan terus tersenyum bahagia. Mereka segera memberitahu Aba dan kedua orang tua Abay atas kehamilan Jihan. Mereka yang mendengar juga merasakan kebahagaian pasangan ini.

Abay mengusap perut Jihan yang masih rata, mengecupnya berkali-kali hingga Jihan merasa kegelian.

"Tumbuh sehat sayang, Mama, Papa tunggu kamu hadir di dunia ini, bismillah, ya nak," bisik Abay sambil lalu menatap kedua mata Jihan yang menatap sendu.

"Bahagia Mas?" tanya Jihan sambil mengusap dan merapikan rambut Abay dengan kelima jemarinya. Abay mengangguk.

"Apapun jenis kelaminnya aku seneng, yang penting tumbuh sehat, sempurna." Jihan setuju dengan ucapan suaminya itu. Ia belum merasakan mual ataupun ngidam. Mungkin karena masih awal-awal kehamilan. Ia masih bisa melakukan aktifitas biasa tanpa kendala apapun.

***

Segala sesuatu memang harus diserahkan kepadaNYA, apa pun itu. Baik rasa bahagia atau kebalikannya. Tak boleh berlebih, cukup sesuai porsinya. Perut Jihan nampak semakin besar, usia kehamilannya masuk empat bulan. Bunda membuat acara pengajian empat bulanan untuk Jihan. Aba tampak bahagia melihat Jihan dan Abay akan menjadi orang tua secepatnya.

"Mas Abay, itu anak kecil disana ngapain sendirian, coba samperin, Mas?" pinta Jihan saat melihat seorang anak kecil berdiri dipinggir jalan seorang diri. Mereka masih berada di rumah keluarga Abay, Jihan ingin menginap dirumah mertuanya itu.

"Eh, iya, ngapain tuh anak." Abay lalu berjalan keluar pagar dan menghampiri anak kecil itu. Abay berjongkok di hadapan anak kecil itu di seberang jalan. Anak kecil itu menangis dan langsung memeluk Abay. Jihan terenyuh melihatnya. Ia masih berdiri di depan pagar. Suaminya itu menggendong anak kecil tersebut dan hendak membawa ke rumah.

Dari kejauhan terlihat sebuah mobil melaju kencang tak terkendali. Jihan terkejut dengan kedua bola mata terbelalak. Sontak ia berteriak memanggil Abay dan ia pun berlari. Hingga terdengar suara benturan dan rem mobil berdecit nyaring.

BRAK!

***

Tubuh itu terbaring di brankar dengan banyak kabel dan selang infus terpasang di tangan kiri seseorang. Wajahnya pucat dan lemah. Kedua kantung matanya tampak menghitam. Sudah dua hari tubuh itu terbaring di sana. Tangis terdengar dari suara seseorang. Abay menunduk, memegangi jemari tangan Jihan yang lemah. Kejadian kemarin membuatnya terpukul.

Kecelakaan itu menimpa Jihan yang berlari ke arah Abay dan mendorong tubuh suaminya itu sehingga ia yang menjadi korban takbrakan. Tubuhnya terpental menghantam pohon dan tergeletak tak sadarkan diri. Tak itu saja yang membuat Abay terpukul. Janin yang dikandung Jihan pun meninggal. Belum sempat melihat dunia, sudah kembali pada sang pencipta.

Abay terus menunduk. Ia kehilangan pikiran jernihnya. Doa tak henti ia ucapkan di dalam hatinya. Sambil terus menatap lekat wajah istri tercintanya itu.

Dokter masuk keruangan rawat, memeriksa keadaan Jihan lagi setelah beberapa jam dari waktu terakhir.

"Tanda vitalnya normal, Pak, mudah-mudahan secepatnya sadar," ucap dokter. Abay mengangguk. Ia duduk menatap sendu Jihan yang masih belum sadar, malam sudah larut, tapi kedua mata Abay masih tak mau terpejam. Suami Yasmine datang membawa selimut dan baju hangat untuk adik iparnya itu. Lalu segelas kopi dan roti bakar ia letakan di meja dekat sofa di dalam kamar rawat itu.

"Makan dulu, Bay, istirahat." Bahu Abay ditepuk kakak iparnya, Abay menolak. "Tidur, gantian gue yang melek, lo kurang istirahat, takut drop," lanjutnya lagi. Abay menggeleng.

"Nggak bisa tidur bang. Masih berat sama kejadian ini, berat banget, Bang," Abay menunduk, menjambak rambutnya sendiri dengan keras.

"Qadarullah, Bay, semua udah takdir Allah, kita hanya bisa Ikhlas, berdoa, dan bangkit," ucap kakak iparnya itu.

"Gue nggak tau gimana caranya ngomong sama Jihan kalau anak kami udah meninggal, Bang, Jihan pasti terpukul banget," ucap Abay yang kembali menangis.

"Pelan-pelan, nanti kita semua sama-sama kasih support untuk Jihan, sekarang lo makan rotinya,cJihan cuma punya lo buat pegangan dia sekarang." Abay diam. Ia menatap ke atas brankar dimana Jihan masih memejamkan matanya.

***

Abay memeluk erat tubuh Jihan. Sesaat setelah ia menceritakan semuanya. Jihan menangis, tanpa suara. Hanya bahunya yang terus bergetar dan memeluk erat suaminya.

"Aku minta maaf, Mas," lirih Jihan. Abay terus memeluk.

"Enggak, enggak. Udah sayang, nggak ada yang salah, cepet sembuh ya kamu, harus pulih, nanti kita sama-sama ketempat Azka, aku namain anak kita Azka." Abay menatap wajah Jihan. Istrinya kembali menangis. Anak mereka dimakamkan bersama dengan mendingan ibunda Jihan, walaupun janin usia empat bulan masih belum terbentuk sempurna, Abay tetap memakamkan dengan layak.

Hati Jihan hancur, entah keputusan saat itu yang ia lakukan benar atau salah. Terlepas dari itu ia hanya ingin menyelamatkan suaminya dan anak kecil lelaki yang berada digendongan Abay saat itu.

Seorang ibu akan merasa hancur jika melihat hal buruk menimpa anaknya. Begitupun hati bunda yang nyeri. Ia terus menangis, karena Jihan rela tertabrak mobil demi menyelamatkan Abay–putranya–sehingga Jihan justru kehilangan calon putra mereka.

"Bunda janji Jihan, bunda akan semakin sayang kamu, bunda berhutang nyawa sama kamu nak, bunda akan bikin kamu bahagia." Bunda Abay menangis setelah selesai sholat, masih mengenakan mukena dan duduk diatas sajadahnya.

To be continue,

Senyawa (Repost) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang