Mereka berdua datang menuju ke rumah tantenya Abay satu minggu kemudian. Abay malas sebenarnya, tetapi Jihan tetap memaksa dan meyakinkan suaminya kalau ia tidak apa-apa dan Abay juga harus tetap menghormati tantenya bagaimanapun juga. Entah terbuat dari apa hati seorang Jihan karena bisa menghadapi hal tersebut. Abay marah dan tersinggung dengan perkataan tantenya saat itu, tetapi Jihan berkata 'Kita yang jalanin Mas Abay, sabar aja' dan Abay tak mungkin terus bisa kesal dengan tantenya itu pada akhirnya.
Jihan menyapa semua anggota keluarga yang hadir. Begitupun dengan tante Abay yang langsung memeluk Jihan. Acara santunan dan buka puasa bersama pun berlangsung hikmat. Jihan duduk diantara para sepupu Abay. Mereka ramah dan senang jika Jihan dan Abay datang. Karena Abay bisa dengan mudah membuat suasana mengobrol mereka seru. Tapi tidak kali ini, Abay justru memperhatikan Jihan dengan lekat dari sudut lain ruangan di rumah itu saat beberapa tante dan keluarga lainnya menyinggung soal anak dan program bayi tabung. Jihan sesekali tersenyum dan mengangguk. Menghormati pendapat keluarga suaminya.
"Maksud kita, bukannya apa-apa Jihan, cuma di keluarga kita belum ada yang selama kalian nunggunya, coba periksa. Takut mandul." Mendengar kata terakhir itu, Jihan terdiam, bibirnya bergetar mencoba tersenyum.
Yasmine yang ada satu tempat yang sama dengan Jihan sudah jengah dengan tante-tantenya itu. Ia beranjak dan pamit untuk ke garasi samping rumah, karena suami mereka menunggu di sana.
"Cuekin mereka bilang apapun," bisik Yasmine sambil merangkul Jihan. Abay melihat raut wajah istrinya sendu. Yasmine melirik ke Jihan yang masih menunduk dan menatap Abay.
"Pulang yuk Jihan, nggak usah pamit, nanti Kak Yasmine yang pamitin," ucap Abay menggandeng tangan Jihan.
"Pamit sebentar, Mas, nggak sopan,"lirih Jihan.
"Nggak papa nggak usah. Mereka aja cara ngomongnya nggak sopan ke kamu. Kak, pamitin ya, kita duluan." Abay berjalan keluar rumah lewat garasi samping. Lalu menuju ke motornya. Ia memasangkan helm ke atas kepala Jihan dengan wajah merengut.
"Tarawih berdua aja ya, Mas di rumah," ucap Jihan mencoba mencairkan suasana.
Abay mengangguk. Ia masih kesal dengan tantenya itu.
"Suami gantengnya Jihan, udah dong, jangan dimasukin ke hati omongan mereka .... " Jihan mencoba membujuk suaminya itu yang terbawa emosi.
Abay menghela napas lalu memeluk Jihan. "Maafin keluarga aku ya Jihan, mereka bisa-bisanya bilang begitu," lalu ia melepaskan pelukannya.
"Mulut manusia. Sudah biasa. Yuk pulang, tarawih di rumah." Jihan mecolek hidung Abay. Lalu senyum terbit di bibir Abay. Ia mengangguk.
***
Abay menatap Jihan yang sedang merapikan sajadah,mukena yang tadi ia kenakan saat sholat tarawih. Abay duduk dilantai beralaskan karpet di kamar mereka. Tak hentinya ia tersenyum menatap gerak gerik istrinya itu.
"Anak kita nanti pasti bangga punya Ibu seperti kamu ..., cekatan, rajin, penyabar, penyayang, pinter, ckckckc, Masyaaallah sekali istrinya Abay, nih." Abay terkekeh. Ia beranjak dan duduk diatas tempat tidur masih setia menatap istrinya yang sedang merapikan meja kerja Abay yang berantakan dengan buku-buku untuk membuat soal ujian para mahasiswa mahasiswinya.
"Aamiin, anak-anak kita juga pasti bangga punya ayah kayak Mas Abay, judes-judes tapi penyayang," lirik Jihan yang mendapat kekehan dari Abay.
"Mas Abay." Jihan berjalan dan ikut duduk diatas tempat tidur.
"Apa?" Abay meraih jemari Jihan dan memainkan jari-jari Jihan dengan jari-jarinya.
"Mba Kyla bulan depan lahiran anak kedua, cari kado, yok, besok, anaknya perempuan yang kedua ini."
"Mau kasih kado apa?" Abay menatap Jihan dengan kedua mata sayu.
"Makanya kita cari besok. Sekalian, mau beli buat bingkisan lebaran, buat bagi-bagi ke satpam sama keluarga."
"Oke. Besok kita belanja." Abay menarik tangan Jihan pelan dan berbaring di sebelahnya.
"Jihan, kalau emang Allah nggak kasih kita rejeki keturunan, gimana?" Abay menatap mata Jihan yang mendongak ke arahnya.
"Terima. Kalau itu takdir kita," jawab Jihan singkat.
"Kalau aku yang mandul gimana?" Abay menatap sendu. Jihan bangun dan duduk menatap Abay.
"Masalahnya apa? Anak-anak kita nanti banyak, kita urus anak yatim piatu di yayasan, gampang, Mas." Jihan menangkup wajah suaminya itu.
"Sekarang, kalau aku yang mandul gimana? Pasti kamu disuruh nikah lagi sama keluarga besar kamu," ledek Jihan sambil terkekeh.
"Nggak! Enak aja suruh-suruh aku nikah lagi. Bodo amat mereka mau bilang apa. Istri aku satu, cuma kamu. Titik. Kelar. Fix. No debat." Abay menarik Jihan kedalam pelukannya. Menghujani ciuman di kepala dan pelipis Jihan berkali-kali.
Jihan bersandar dengan nyaman. Memeluk pinggang Abay.
'Semoga benar ya mas, kamu nggak akan pergi atau ninggalin aku kalau ternyata takdir yang berpihak ke aku, kalau misalnya aku yang mandul. Aku nggak bisa bayangin kamu ada perempuan lain di hidup, hati dan rumah tangga kita.'
Jihan berucap dalam hati. Ia semakin mengeratkan pelukannya di pinggang Abay.
To be continue,
KAMU SEDANG MEMBACA
Senyawa (Repost) ✔
RomanceBlurb : Cinta itu butuh kepercayaan, yakin, juga ikhlas menerima segala kekurangan. Karena kelebihan itu hal biasa. Jihan dan Abay, mereka menerima itu, bahkan disaat ujian berat datang menghampiri, tidak ada satu alasan untuk keduanya tidak Senyaw...