Faiz

215 45 2
                                    

Abay dan Mela menikah secara agama dan negara. Tidak dibuat dengan besar-besaran atau sekedar acara syukuran sederhana. Mereka menikah di KUA setempat, setelah itu langsung menuju ke rumah yang Abay dan Jihan tempati.

"Kamar kamu di sana." ketus Abay tanpa tersenyum bahkan sekedar menatap Mela yang sudah resmi menjadi istrinya. Faiz menatap bergantian ke arah kedua orang tuanya. Anak kecil itu sangat perasa. Ia mengikuti ibunya ke dalam kamar. Duduk di atas tempat tidur sambil memperhatikan ibunya merapikan pakaian mereka ke dalam lemari.

Mereka menempati kamar yang tadinya, akan dipakai sebagai kamar anak Abay dan Jihan namun, karena anak mereka meninggal, kamar itu dijadikan kamar Tamu. Faiz turun dari ranjang. Mela menatapnya bingung.

"Mau kemana?" Mela menatap putranya itu.

"Ke Papa. Boleh kan, Ma?" wajah Faiz penuh harap.

"Boleh. Tapi kalau nanti Papa marah, kamu kesini lagi ya," pinta Mela. Faiz mengangguk. Ia keluar kamar lalu berjalan ke arah pintu kamar Abay yang berjarak lima meter dari kamarnya.

Faiz mengetuk pintu perlahan. Tak lama pintu terbuka. Tampak Abay sudah berganti baju. Ia tersenyum menatap putranya.

"Apa, iz?" Abay berjongkok supaya sejajar dengan tubuh Faiz yang berusia delapan tahun itu.

"Apa Papa marah sama Faiz juga?"

Abay tersenyum lalu menggeleng.

"Faiz salah ya, Pa, harusnya Faiz nggak usah minta ketemu Papa juga."

"Enggak. Faiz nggak salah." Abay memeluk tubuh kecil putranya itu. Membelai lembut kepalanya.

"Faiz mau pergi sama Papa nggak? Faiz mau apa? Papa mau turutin kemauan Faiz." Abay tersenyum. Faiz juga tersenyum.

"Makan es krim, Pa, boleh?" senyuman Faiz mirip dengan senyuman Abay. Abay mengangguk.

"Tunggu di bawah, Papa mau ambil kunci mobil sama dompet. ya." Abay berdiri. Faiz mengangguk dan berjalan menuruni anak tangga.

Pintu kamar Abay kunci, ia tak akan sudi untuk Mela masuk ke dalam kamarnya walau sekedar untuk merapikan barang-barang miliknya. Ia sudah janji tidak akan membiarkan Mela menyentuh apa pun yang ada di dalam kamar. Untuk memindahkan beberapa barang pun ia tak kan izinkan. Semua harus pada tempatnya. Hanya Jihan yang boleh memindahkan atau menyentuhnya.

Abay mengetuk pintu kamar Mela. Pintu terbuka. Tampak Mela seperti takut untuk menatap Abay. "Saya mau ajak Faiz jalan-jalan. Kamu nggak perlu ikut. Kami sekalian makan diluar. Kalau kamu lapar bisa masak, atau apa pun. Tapi ingat. Jangan memindahkan barang ke mana pun, bahkan toples gula atau garam harus kembali ke tempatnya semula. Paham maksud saya." pinta tegas Abay. Mela mengangguk.

Abay melangkah mendekati anak tangga.

"Aku minta maaf Abay," suara Mela terdengar. Abay tak peduli. Ia terus melangkah ke arah garasi.

Faiz menatap kagum pada motor hitam milik Abay. Beralih ke helm warna maroon yang ada di atas motor juga.

"Itu helm punya Bunda Jihan ya, Pa?" tanya Faiz. Abay mengangguk.

"Faiz mau kapan-kapan naik motor sama Papa, kita jalan-jalan?" tawar Abay. Faiz mengangguk semangat. "Nanti Papa beli helm buat Faiz dulu ya, Bunda Jihan paling seneng kalau Papa ajak naik motor," lanjut Abay sambil masuk ke dalam mobil. Disusul Faiz yang mengangguk lagi.

Mereka menghabiskan waktu dari sore hingga malam bersama. Abay ingin mengetahui sifat dan kesukaan anaknya secara pribadi. Tak mau Mela yang menceritakan.

"Bunda Jihan pergi ya, Pa?" tanya Faiz sambil asik memakan burger keju.

"Enggak. Bunda Jihan lagi di rumah saudaranya." Abay berbohong. Ia sudah putus komunikasi sejak di pengadilan itu. Yang ia tau, Jihan bersama Kyra, dan itu sudah cukup membuatnya tak perlu mengkhawatirkan wanita yang sudah membawa hatinya pergi.

"Faiz berdoa ke Allah, mudah-mudahan Faiz suatu hari bisa ketemu Bunda Jihan. Bunda baik, Pa, waktu Bunda peluk Faiz, Faiz nyaman banget. Kenapa Bunda nggak tinggal sama kita sih, Pa? Faiz suka kesepian kalau Mama kerja. Apalagi kalau Mama harus ngajar pramugari-pramugari baru. Faiz sendirian di rumah."

"Sekarang enggak. Kalau nanti Papa dan Mama kerja, Faiz di rumah Jiddah ya, sore Papa jemput lagi. Pokoknya Papa yang urus semua kebutuhan Faiz sekarang. Besok senin, Papa daftarin sekolah Faiz ya."

"Jadi Faiz sekolah umum, Pa? Nggak sekolah di rumah?" kedua mata Faiz terbelalak. Abay mengangguk.

"Alhamdulillah, makasih ya, Pa!" Faiz melanjutkan makan hingga habis. Abay menerawang menatap keluar jendela yang basah terkena cipratan air hujan.

Kamu dimana sayangku, sedang apa, aku rindu. ucap Abay dalam hati dengan menahan sesak tak terkira. 

Senyawa (Repost) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang