Dikurung

26K 1.9K 13
                                    

Lavid terus menggedor pintu kamarnya yang dikunci. Ia berkali-kali juga berteriak, berharap agar Havid atau David mau membukakan pintu, meski ia tak yakin dengan itu.

"BANG! BUKA PINTUNYA!"

Percuma.

Tenggorokan Lavid sudah hampir kering, tapi tetap saja tak ada yang menanggapinya. Sepertinya ia benar-benar dihukum 'kurung' lagi.

"Bang, Lavid mau sekolah." Lirih Lavid.
Ia merosot dan terduduk di depan pintu kamarnya. Mengacak-acak rambutnya frustasi sambil terus mengumpati kedua kakaknya.

Ia takut hanya saat di depan mereka, di belakang mereka ia bisa sesuka hati mengumpati mereka. Terserah jika dirinya di cap sebagai adik tidak beradab atau apapun itu.

Ia berdiri dan mencari ponselnya. Ah sial, ia lupa jika ponselnya disita David. Ingin rasanya ia membanting barang-barang di kamarnya, tapi urung saat ingat jika harga barang-barang itu mahal.

Ia hanya bisa menghembuskan nafas kasar dan membanting dirinya di atas kasur. Matanya terpejam, mencoba mendinginkan suhu tubuhnya yang naik karena emosi.

Lama-lama mata Lavid semakin terpejam erat, jiwanya melayang menuju alam mimpi.

•••

David baru saja pulang dari kantor. Pemuda berusia 25 tahun itu menghempaskan tubuhnya di atas sofa untuk meredam penat.

"Bang," panggil Havid yang baru keluar dari arah dapur.

"Hm?"

Havid terlihat ragu, membuat David harus bertanya apa kemauannya. Havid menghela nafas, duduk di sofa berhadapan dengan David.

"Yakin mau pindahin Lavid sekolah di luar negeri?" Tanya Havid hati-hati.

"Mau bagaimana lagi?" Tanya balik David.

"Dia pasti nggak mau."

"Paksa."

Havid diam. David bukan orang yang main-main sama ucapannya. Jika David sudah berkata, maka itu harus terjadi dan harus dituruti.

Saat David dan Havid masih berbincang berdua, Lavid sudah terbangun dari tidurnya. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 7 malam.

Ia tertidur sangat lama.

Ia merasa lapar dan haus, tapi ia tidak bisa keluar dari kamarnya. Stok camilan yang biasa ia simpan diam-diam di bawah ranjang juga sudah habis.

Cklek!

Lavid menengok ke arah pintu yang baru saja terbuka. Disana ada Havid yang membawa nampan berisi sepiring nasi, semangkuk sup, dan segelas susu putih.
Lavid masih marah, tapi ia bersyukur Havid datang di saat yang tepat. Perutnya sudah tidak bisa diajak kompromi lebih lama.

Havid memasukkan nasi ke dalam mangkuk sup, mencampurnya. Saat Lavid sudah siap menyendok makanannya, Havid justru mencegahnya.

"Abang suapi."

Lagi-lagi Lavid menurut.

Suara dan aura Havid sudah lebih baik. Setidaknya itu membuatnya tak terasa terintimidasi seberti sebelum-sebelumnya.

Havid menyuapi Lavid dengan telaten, mengusap noda makanan yang menempel di sekitar mulutnya. Lavid benar-benar diperlakukan seperti anak kecil oleh David dan Havid.

Setelah makanannya habis, Lavid meminun susunya. Havid menata bekas makan Lavid kembali ke atas nampan.

Tangan besar Havid mengelus rambut adiknya, memainkannya sebentar. Lavid hanya diam, ia selalu merasa malas bergerak saat merasa kekenyangan.

"Bang, mau nonton TV," rengek Lavid tiba-tiba.

"Hmmm," jawab Havid dengan deheman.
"Eum, beneran boleh?" Tanya Lavid berubah ragu.

"Ayo."

Havid menggendong Lavid ala koala. Ia akan menyuruh ART untuk mengambil bekas makan Lavid nanti.

Lavid menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Havid, menghirup dalam aroma woods yang menguar dari tubuh sang kakak.

Sampai di ruang tengah, Havid mendudukkan Lavid di sofa. Ia menyalakan televisi, memilih acara kesukaan Lavid, Today Story.

Lavid duduk anteng menonton televisi sambil memakan keripik yang ada di toples yang ia letakkan di pangkuannya. Havid sendiri duduk di bawah sofa sambil memainkan kaki kecil Lavid.

Tiba-tiba Havid teringat obrolannya dengan David tadi, ia mendongak menatap Lavid. Adiknya itu masih fokus menonton televisi.

"Dek, kalau misalnya kamu jauh dari Bang Havid sama Bang David, gimana?"

Lavid menghentikan memakan keripiknya. Ia menunduk ke bawah, membuat matanya langsung bertatapan dengan mata Havid.

"Kenapa tanya begitu?" Tanya balik Lavid tak paham.

"Tidak ada," balas Havid sambil memalingkan wajahnya.

Lavid merasa janggal dengan ucapan Havid. Apakah kedua kakaknya itu akan meninggalkannya?

"Emang... Bang David sama Bang Havid mau ninggalin Lavid." Nada bicara Lavid berubah lirih.

Meski ia sering kesal dengan David dan Havid, tapi Lavid tetap sayang sama mereka. Cuma mereka yang Lavid punya sekarang ini.

Jangan tanyakan di mana orang tua mereka. Entah keduanya masih hidup atau sudah mati, mereka bertiga tak ada yang peduli.

"Nggak!" Tanpa sadar suara Havid meninggi, nembuat Lavid tersentak.

Matanya berkaca-kaca dan berakhir dirinya menangis. Havid juga ikut kaget dan akhirnya memeluk Lavid, mencoba menenangkannya.

"Maaf," ucap Havid pelan.

"Hiks... Jangan tinggalin Lavid sendirian, Bang." Isak Lavid.

"Nggak akan."

Havid semakin ragu dengan pilihan David untuk memindahkan Lavid agar bersekolah di luar negeri.

Lavid And His Brothers (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang