"LAVID! AGUS! GAVRIEL! SINI KALIAN!"
Pak Tangguh berlari sambil mengayunkan sebuah sapu ijuk ke udara. Dirinya berlari kalang kabut penuh emosi mengejar tiga anak nakal yang mengerjainya tadi.
Sedangkan ketiga anak nakal yang berlari di depan Pak Tangguh justru tertawa keras. Bagaimana mereka tidak tertawa jika rencana mereka untuk mengerjai guru IPAS itu berhasil? Selama ini mereka memang ada dendam kesumat dengan guru satu itu.
"Yo, dasi run run run, guys!" Teriak Lavid menirukan nada lagu RUN BTS.
"Mlayu ayo mlayu teroosss!" Sambung Agus dengan bahasa jawa alakadarnya.
"Lari! Lari! Lari!" Lanjut Gavriel.
Mereka berheti saat merasa jarak mereka dengan Pak Tangguh sudah agak jauh. Mereka menoleh ke belakang dan melihat Pak Tangguh yang terduduk di lantai lapangan basket sambil misuh-misuh.
Tawa mereka semakin keras saat melihat penampilan Pak Tangguh. Rambutnya acak-acakan dan kotor oleh tepung, pakaian yang kusut, serta wajah marahnya. Jelas itu semua hasil dari keusilan trio rusuh itu.
"Buset dah si Pak Tangguh, namanya aja 'Tangguh' tapi baru ngejar lima belas menit udah keok." Ucap Gavriel yang disusul tawa menggelagar Lavid dan Agus.
"Gavriel."
Tubuh Gavriel menegang saat mendengar suara berat yang memanggilnya. Ia berbalik ke belakang dan meneguk ludah kasar saat tahu siapa yang memanggilnya.
"K-kak Abriel... He-hehehe."
Abriel menaikkan sebelah alisnya menatap ketiga remaja di depannya yang memasang wajah kikuk dan takut. Ia kemudian menatap Pak Tangguh yang sedang lesehan sambil misuh-musih dengan panampilan yang berantakan.
Abriel menatap tajam pada Gavriel, sedangkan adiknya itu mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil berisul, pura-pura tak tahu. Abriel menghela nafas dan menarik sang adik kemudian menggendongnya ala koala.
"Kak, turunin! Malu!" Ucap Gavriel memberontak.
"Diam!"
Gavriel kicep dan langsung menyembunyikan wajahnya di perpotongan leher Abriel. Sebenarnya Lavid dan Agus sangat ingin tertawa melihat keadaan Gavriel, tapi mereka tahu ini bukan moment yang tepat.
"Kalian ikut." Perintah Abriel sambil berjalan dengan Gavriel yang masih di gendongannya.
Lavid dan Agus hanya pasrah mengikuti langkah Abriel menuju entah kemana.
Selama beberapa menit berjalan mereka sampai di halaman belakang sekolah yang sepi. Di sana ada bangunan kecil yang entah apa.
Abriel mendekati bangunan itu dan masuk ke dalamnya, diikuti Lavid dan Agus. Ternyata bangunan itu adalah basecamp milik anak-anak berandalan yang diketuai oleh Rama.
"Duduk!" Suruh Abriel yang langsung dituruti oleh kedua teman adiknya.
Abriel menurunkan Gavriel di sofa yang sama dengan Lavid dan Agus. Ia sendiri duduk di sofa lain yang berhadapan dengan mereka bertiga.
"Senang, ya, mengerjai guru, hm?" Tanya Abriel dengan tatapan tajamnya.
"Y-ya, kan cuma main-main aja, Kak." Balas Gavriel menunduk dalam.
Abriel menghela nafas panjang dan menyenderkan punggungnya di sandaran sofa.
Basecamp ini memang tidak terlalu besar, tapi fasilitas di dalamnya sudah seperti rumah. Ada sofa, kasur, televisi, kulkas, dan beberapa barang lainnya.
"Ini trio curut ngapain di sini?" Tanya Elan yang entah muncul dari mana.
Mereka bertiga yang merasa kesal dipanggil 'curut' pun melotot ganas ke arah Elan yang jatuhnya malah menggemaskan.
"Kalian tuh nggak cocok pasang muka marah, imutnya keluar mulu, dih." Ucap Elan dengan nada jahil.
Ketiga remaja yang lebih muda itu mendengus dan memalingkan wajah. Elan terkekeh kecil dan duduk di lantai yang dilapisi karpet tebal.
"Bang Rama kemana?" Tanya Lavid membuka suara.
"Lagi keluar, palingan bentar lagi balik. Kangen, ya?"
Dengan polosnya Lavid malah mengangguk, membuat Elan gemas dan mencubit pipinya. Lavid merengut dan menghempaskan paksa tangan jahil Elan.
"Buset, galak bener." Ringis Elan.
Kriet...
Bunyi pintu yang dibuka sedikit mengalihkan atensi mereka, ternyata yang membuka pintu adalah Rama dengan membawa kantong plastik di tangan kirinya.
"Abang Rama!" Pekik Lavid yang langsung berlari memeluk Rama.
Rama sempat heran kenapa Lavid dan kedua cunguknya bisa ada di sini, tapi ia memilih tidak memikirkannya dan merentangkan tangannya, menyambut tubuh Lavid.
"Kenapa?" Tanya Rama mengusap rambut Lavid.
"Kangen, hehe."
Rama terkekeh kecil, membuat empat orang lain yang ada di sana menatap tak percaya ke arahnya. Seorang Rama Hemiam Bharata terkekeh? Sungguh luar biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavid And His Brothers (END)
Novela JuvenilLavid, si bungsu nakal tetapi nyalinya ciut jika sudah berhadapan langsung dengan dua kakaknya, David dan Havid. Hidupnya sering diatur. Sekalinya memberontak langsung dapat hukuman. Begitulah kehidupan Lavid bersama kedua kakaknya.