Pergi

7.8K 567 28
                                    

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 00.56 dini hari. Lavid berdiri di depan pintu kamarnya sambil menghela nafas. Di tangan kirinya ia memegang koper berukuran lumayan besar.

Tangannya sudah bergerak memegang knop pintu, tapi setiap ia akan menariknya, ia meraskan air matanya mendesak untuk keluar.

"Nggak Lavid! Lu harus kuat demi kakak-kakak lu dan diri lu sendiri!" Seru Lavid dengan suara tertahan, menyemangati dirinya sendiri.

Tapi hati tak akan pernah berbohong. Air mata Lavid meluncur begitu saja saat ia meraskan ketidakrelaan di hatinya untuk pergi meninggalkan David dan Havid.

Setelah dirinya tidak bisa tidur karena insomnia, Lavid sadar bahwa ia terlalu 'beban' untuk kedua kakaknya. Havid yang tidak pernah mabuk pun memilihnya sebagai pelarian hanya karena masalah yang bersangkutan dengan Lavid.

"Hiks... Kok gue cengeng gini? Gue udah hiks... Terlalu bergantung dan ngerepotin mereka. Sekrang gue hiks... Gue harua bisa sendiri, tanpa mereka. Bang Havid, Bang David, hiks... Lavid sayang kalian."

Lavid meremas kuat knop pintu dan dengan separuh keyakinan, dirinya keluar dari kamar dengan menjinjing kopernya.

Sebelum menutup pintunya, Lavid melihat ke arah kasurnya—menatap lipatan kertas yang sengaja ia letakkan di sana. Kembali meyakinkan diri, ia pun menutup pintu kamarnya.

Lavid berjalan dan berhenti di depan kamar Havid dan David yang bersampingan. Sebuah rasa mendorong hati Lavid agar melihat wajah mereka untuk 'terakhir' kalinya, tapi otak Lavid menolaknya. Jadilah ia hanya bisa mengusap pintu kamar kedua kakaknya bergantian.

"Badbye..." Gumam Lavid lalu melanjutkan langkahnya perlahan.

Setelah sampai di depan pintu utama, Lavid merogoh saku jaketnya dan membuka kuncian pintu dengan kunci cadangan yang ia punya. Setelah keluar, Lavid kembali mengunci pintu dari luar.

Ditatapnya rumah bertingkat dua itu dengan sendu. Lavid merasa kakinya begitu lemah, sehingga ia jatuh bersimpuh. Air matanya mengalir semakin deras seiring perasaan rapuhnya yang menjalar.

"Maafin Lavid, Bang. Lavid nggak bisa berbuat apa-apa yang bikin kalian seneng, Lavid cuma bisa bikin kalian menderita, huks..."

Lavid mengusap kasar air matanya. Ditepuknya pipinya beberapa kali dengan agak keras dan senyum paksa yang ia pasang.

Lavid harus kuat! Harus bisa!

Ia bangkit berdiri, sekali lagi dipandanginya rumah itu. Ia menatap ke bawah—ke arah kakinya—lalu dilepaskannya sebelah sepatu yang ia pakai. Ia meletakkan sepatu itu di depan pintu rumah.

"Mungkin itu kenangan terakhir dari Lavid, once... Badbye... Ah, i mean, goodbye."

Lavid berjalan menjauhi teras rumah. Langit masih begitu gelap dan suara-suara angin cukup terdengar jelas.

Saat sudah berdiri di depan gerbang, Lavid berhenti melangkah. Tanpa berbalik, ia mengucapkan sesuatu.

"Gue minta lu keluar, gue udah tau keberadaan lu dari lama."

Beberapa detik tidak ada respon, Lavid kembali berucap, "Gue mohon keluar. Kalo bisa... Gue juga mau minta tolong sama lu."

Sesaat kemudian terdengar langkah kaki mendekati Lavid yang dibarengi dengan ucapan bersuara ngebass seorang pemuda.

"Tuan..."

Lavid berbalik, menatap sosok berpakaian hitam dengan wajah oval dan iris mata kelam yang tajam. Senyuman tipisnya terpatri.

"Gue mohon kali ini aja... Bantu gue."

Pemuda itu tersenyum paham dan mengangguk.

"Akan saya bantu sebisa saya, Tuan Bungsu Garesta."

•••

Kacau. Pagi yang sungguh kacau.

David menggila. Sedangkan Havid hanya bisa linglung dengan tatapan kosong dan air mata yang mengalir.

Pagi hari yang mungkin akan sedikit suram justru berubah semakin suram, bahkan jauh dari kata baik-baik saja.

"SIALAN! SIALAN! SIALAN! AARRGHH! LAVID KAU KEMANA?!" Teriak David sambil menjambak rambutnya sendiri. Matanya sudah bengkak dan memerah.

Suara kamar Lavid begitu buruk.

Pagi jam setengah 6 seharusnya Havid sudah membangunkan Lavid untuk sekolah. Tapi yang ia temukan hanyalah kekosongan dan sepucuk surat berisi lima baris kalimat monoton tetapi menusuk seperti jarum.

'Terima kasih kakak-kakakku tercinta. Maafin Lavid ya buat semua hal buruk yang Lavid bawa. Lavid sayang kalian. Tapi maaf kalo Lavid harus pergi. Ini demi kita bersama.'

Sedangkan di luar sana, sesosok cewek berwajah oriental dan bertatapan datar berdiri di depan pintu rumah Garesta bersaudara. Di tangan kirinya ada sepatu milik Lavid yang ia ambil saat baru datang tadi.

Cewek yang tak lain adalah Neva—kakak Agus—itu mendobrak pintu rumah hingga roboh. Dirinya berjalan agak cepat hingga ke kamar Lavid.

Dilihatnya David yang kini berjongkok sambil mengusap kasar wajah dan rambutnya, sedangkan Havid sudah pingsan dengan bola kertas yang terselip di genggaman tangannya.

Neva ikut berjongkok di hadapan David, menarik wajah pemuda itu agar bertatapan dengannya.

"N-neva, Lavid menginap di rumahmu, kan? Pasti dia sedang b-bermain dengan Agus, kan?"

Neva memandang datar ke arah David. Cewek itu kemudian mendekap erat tubuh Havid.

"Maaf..."

Neva memukul tengkuk David hingga mengakibatkan pemuda itu pingsan. Neva menjauhkan tubuhnya dari David dan mengangkatnya untuk berbaring di atas kasur. Setelahnya ia juga mengangkat Havid dan membaringkannya di sebelah David.

"Maafkan aku... Aku hanya menuruti keinginan adik tercinta kalian." Ucap Neva sambil meletakkan sebelah sepatu Lavid di tengah-tengah dua saudara itu.

Ya, Neva tahu semuanya. Tapi ia tak bisa membeberkan itu semua, karena ia sudah terikat janji dengan yang bersangkutan.

Neva lalu menghidupkan ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Hallo, Dokter Rega, datanglah ke alamat rumah yang akan saya kirim pada Anda nanti. Ada dua orang yang harus Anda periksa."

"....."

"Baiklah, saya tunggu."

Neva memutuskan sambungan.

Sekarang yang harus Neva pikirkan hanyalah bagaimana cara untuk mengkondisikan keadaan Havid dan David, ah, mungkin juga dengan Agus dan orang-orang terdekat Lavid lainnya.

"Kuharap kau bisa menjaga Lavid dengan baik, Galaxy." Gumamnya.


END...

Lavid And His Brothers (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang