"Weh, denger-denger ada muba." Celetuk Lavid sambil meletakkan sepiring cakwe mini di atas meja kantin.
Agus dan Gavriel yang tengah asyik mencari bahan meme di ponsel pun sontak menoleh kompak pada Lavid.
"Tadi gue denger juga gitu, tapi nggak tau deh. Tuh muba kan datengnya pas kita masih KBM." Balas Gavriel cuek.
Agus tidak terlalu menanggapi dan memilih kembali sibuk mencari bahan meme.
"Tuh muba tinggi gila, berasa kurcaci gue."
Mereka bertiga yang tak sengaja mencuri dengar ucapan dari anak kelas sebelah pun mengalihkan tatapan pada dua cowok yang tadi berbicara.
"Eh, kelas kalian beneran ada muba?" Tanya Lavid langsung.
Dua cowok itu menoleh pada meja tiga sekawan yang duduk berjarak dua meja dari mereka itu, kemudian mengangguk kompak.
"Yang mana orangnya?"
"Belum ke sini kayaknya, tadi pas kelas udah bubar tuh anak masih di kelas." Jawab salah satu dari mereka yang berkulit sawo matang.
"Eh, eh, itu dia!" Pekik satunya lagi, menunjuk cowok yang baru saja masuk ke kantin.
Lavid menatap ke arah pintu masuk kantin. Matanya melotot dengan mulut yang terbuka lebar, membuat cakwe mini yang baru saja digigitnya jatuh ke atas meja.
"Buset, Titan!" Pekik Lavid, menarik atensi para penghuni kantin yang lain.
Agus dan Gavriel yang masih cuek bebek berburu meme pun ikut menorehkan atensi mereka.
"Njir!" Umpat Gavriel.
Cowok yang diketahui murid baru dari kelas sebelah itu berjalan menuju meja kosong yang ada tepat di samping meja Lavid dan teman-temannya.
Menurut taksiran dari Agus, tinggi cowok itu mencapai sekitar 196 cm. Ukuran tinggi yang patut dipertanyakan untuk tinggi seorang siswa SMA.
Dalam hati terdalamnya, Gavriel merasa iri dengki bin sirik. Tentu saja, dia yang keturunan Australia bertubuh pendek, sedangkan cowok itu yang terlihat sekali murni Indonesia malah bertubuh lebih tinggi. Ia yakin sekali jika gizinya sudah cukup dari kecil, tapi bisa-bisanya usaha mengkhianati hasil.
"Ini masih kosong kan?" Tanya cowok itu sambil menaikkan sebelah aliasnya, menunjuk meja kosong yang ada di sebelah meja tiga sekawan.
"Gabung aja, ini kursi masih sisa satu." Tawar Agus.
"Oh, oke, thanks." Sahutnya, lalu duduk di kursi kosong yang ada di sebelah kiri Gavriel.
"Pindahan dari mana?" Tanya Agus. Dia bukan orang yang social butterfly, tapi dia bukan juga orang yang canggung untuk berbicara dengan orang baru.
"SMAN Raja 07." Jawabnya.
"Oh, well, nama gue Agus, itu Lavid, dan yang duduk di sebelah lu namanya Gavriel." Ucap Agus memperkenalkan dirinya sendiri dan kedua temannya.
"Nama gue Tino Fajrian Sawandi, panggil aja Tino." Balas cowok itu balas memperkenalkan diri.
Setelah perkenalan singkat itu, mereka asik larut dalam obrolan, kecuali Gavriel yang diam saja. Ia mengamati cowok bernama Tino yang duduk di sebelahnya itu.
Kulitnya kuning langsat, tubuhnya tinggi berotot, matanya tajam bermanik coklat gelap, rambutnya model two blocks, mempunyai lesung pipit di bagian pipi kiri, gigi taring di bagian bawah, bibir tebal, serta wajah berbentuk square.
Gavriel aku jika cowok itu tampan. Itu juga menjadi nilai plus kesirikan Gavriel. Bagaimanapun itu, Gavriel juga sadar diri, mengakui jika dirinya cenderung cantik meski dirinya cowok tulen.
Tidak, dia tidak akan membenci Tino dengan konteks yang lebih tinggi. Ia hanya akan bersikap tidak baik kepada cowok itu. Sudah bukan rahasia lagi jika Gavriel mudah iri dengan fisik orang lain.
Ia sudah mencoba gym bersama Abriel, tapi tetap saja, dirinya masih nampak seperti aslinya. Sebenarnya itu juga dampak yang Gavriel buat sendiri, karena ia hanya melakukan gym tidak lebih dari satu menit. Terbiasa tidak melakukan hal yang berat membuat Gavriel cepat lelah dan akan jatuh sakit jika kelelahan berlebihan."Woe, diem bae lu!" Tegur Lavid, membuyarkan lamuan Gavriel.
"Gue balik ke kelas duluan, gue lupa belum bayar kas." Pamit Gavriel sambil buru-buru pergi.
Mereka bertiga yang tersisa hanya menatap aneh pada punggung Gavriel yang sudah keluar dari kantin.
"Kayaknya dia nggak suka sama gue," celetuk Tino menatap Agus dan Lavid.
"Nggak usah dipikirin, dia emang gitu. Gua yakin dia pasti iri sama fisik lu. Secara dia itu pengen banget punya body modelan lu gini, sayangnya lu liat sendiri kan bentukannya dia kayak gimana?"
Agus dan Lavid tertawa, sedangkan Tino hanya terkekeh kecil. Ya, dia akui jika Gavriel lumayan cantik untuk ukuran cowok.
Tapi itu bukan masalah besar, toh Tino cowok straight yang yang suka cewek. Ia hanya merasa cukup unik saja melihat rupa fisik Gavriel. Tidak ada maksud body shamming, hanya... Yah, sekedar kesan yang baru. Itu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavid And His Brothers (END)
Novela JuvenilLavid, si bungsu nakal tetapi nyalinya ciut jika sudah berhadapan langsung dengan dua kakaknya, David dan Havid. Hidupnya sering diatur. Sekalinya memberontak langsung dapat hukuman. Begitulah kehidupan Lavid bersama kedua kakaknya.