Havid menghela nafasnya, mencoba sabar saat sesosok orang yang tak diharapkannya datang ke rumah lagi, kini justru berdiri angkuh di depan pintu rumah.
"Ini masih pagi jika Anda buta." Sarkas Havid kepada Dava.
Dava tidak terlalu menanggapi, ia justru menyerahkan sebuah map coklat pada Havid. Havid menerimanya dengan sebelah alis terangkat, tanda jika dirinya heran.
"Berikan itu pada kakakmu."
Setelah mengatakan hal singkat itu, Dava pergi begitu saja. Havid menatap kepergiannya dan map di tangannya bergantian. Memilih tidak terlalu memikirkannya, Havid masuk kembali ke dalam rumah.
"Bang, udah bangun belum?" Tanya Havid sambil mengetuk pintu kamar sang kakak.
"Masuklah!" Perintah David dari dalam sana.
Havid membuka pintu kamar David dan menghampiri si empunya kamar yang tengah berdiri di depan jendela.
"Apa yang dia lakukan?" Tanya David yang memang sedari tadi melihat keadaan di bawah lewat jendela kamarnya.
"Dia memberikan ini untukmu." Jawab Havid menyerahkan map coklat di tangannya.
David menerima map itu dan mengambil kertas di dalamnya, lalu membaca tulisan yang tertera di sana. Rahang David mengeras setelah membacanya.
Ia meremat kertas itu hingga menjadi bola kertas, lalu melempar kertas itu ke sembarang arah. Tangannya bergerak memukul kaca jendela di sebelahnya hingga pecah.
Havid kaget, lantas mendekati sang kakak dan menarik tangannya. Havid meringis, bahkan luka yang kemarin saja belum pulih, tapi kini malah bertambah lagi.
"Bajingan tua sialan itu!" Geram David.
"Bang, tenang dan jangan emosi. Emang apa isi suratnya?" Tanya Havid.
David menghela nafas kasar, "Dia sudah mengajukan pengambilan hak asuh Lavid. Proses sidang akan dilakukan tiga hari lagi."
Havid terhenyak. Tidak, ia tak akan rela jika adik tersayangnya diambil darinya dan David!
"B-bang." Suara Havid bergetar. Ia lemah jika sudah menyangkut kedua saudaranya, terutama Lavid.
David menarik sang adik ke dalam pelukannya. Mengelus punggung Havid dengan tangannya yang bernoda darah, tetapi tidak dihiraukan olehnya.
"Semua akan baik-baik saja, aku berjanji padamu. Lavid akan selalu bersama dengan kita, sampai kapanpun."
"Hiks..."
David beralih menangkup wajah Havid dan mengusap air matanya, "Jangan cengeng. Jadilah pria dewasa yang sesungguhnya, jadilah Havid yang selalu melindungi Lavid dengan segenap keberanian dan kedewasaannya. Paham?"
Havid mengangguk, kembali memeluk sang kakak dengan tangisan yang tak kunjung berhenti.
Ya, David mengatakan hal itu disaat dia merasa lebih kecau daripada Havid. Ia merasa menjadi seorang kakak sekaligus orang tua yang gagal. Saat masalah seperti ini datang dengan begitu tiba-tiba, David tak tahu harus bagaimana.
•••
"Ungh~" Lavid melenguh dan terbangun dari tidurnya. Ia mengerjapkan matanya dan menguap.
"Sudah bangun, Baby?"
Lavid agak kaget mendengar suara Rama yang begitu dekat dengannya. Ia menoleh ke sampingnya dan melihat Rama yang duduk di sebelah kasur.
"Uh? Bang Rama kok di sini?" Bingung Lavid.
"Ini kamarku, sayang, jadi aku bisa bebas masuk kemari." Jawab Rama.
Lavid menyengir. Ia lupa jika dirinya menginap dan tidur di kamar milik Rama.
"Sekarang mandi terus turun ke bawah buat sarapan, okey?" Tanya Rama yang mendapat anggukan dari Lavid sebagai jawaban.
Rama keluar dari kamarnya, sedangkan Lavid langsung masuk ke kamar mandi. Untuk urusan pakaian, tentu ia memakai pakaian rama meski oversize untuknya.
Selesai berpakaian, Lavid turun menyusul Rama ke lantai bawah, lebih tepatnya ke dapur. Di sana sudah ada Rama dan Nika yang menunggunya.
Tidak ada banyak basa-basi di pagi hari. Mereka langsung mulai sarapan dengan tenang. Usai sarapan nanti Rama akan langsung mengantarkan Lavid pulang ke rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavid And His Brothers (END)
Roman pour AdolescentsLavid, si bungsu nakal tetapi nyalinya ciut jika sudah berhadapan langsung dengan dua kakaknya, David dan Havid. Hidupnya sering diatur. Sekalinya memberontak langsung dapat hukuman. Begitulah kehidupan Lavid bersama kedua kakaknya.