BRAKKK!!!
"Astaghfirullah!" Sontak Agus beristighfar saat mejanya tiba-tiba digebrak keras oleh seseorang, yang tak lain adalah salah satu sahabat laknatnya, Lavid.
"Serius amat lu baca tuh buku," ucap Lavid mendudukkan dirinya di kursi yang ada di depan tempat duduk Agus.
"Emang ngapa?" Tanya cowok berkulit kuning langsat tersebut.
Lavid memutar bola matanya malas dan melihat judul buku yang ada di tangan Agus.
"Because I'm Askala." Eja Lavid menatap sederet huruf bergaya droid serif yang menjadi judul buku tersebut.
"Itu cerita yang lagi booming itu kan?" Tanya Lavid yang mendapat anggukan mantap dari Agus.
"Penasaran banget gue sama nih buku, jadi gue beli dan coba baca, mayanlah buat ngehibur. Meski gue sebenernya agak gondok sama alur ceritanya." Jelas Agus.
"Gondok kenapa?"
"Intinya punya plot twist dan kebanyakan konflik, coba aja lu baca." Agus menyerahkan buku bersampul hitam itu pada Lavid.
Lavid menerima buku tersebut dan mengamatinya, membuka halaman yang memuat daftar isi. Meski nakal, tapi Lavid suka membaca buku, walaupun hanya buku-buku tertentu atau yang menarik minatnya saja.
"Ini bukan cerita homo kan? Kok ada chapter yang judulnya 'Gue nggak suka cewek bukan berarti gue homo' gitu?"
"Ya bukanlah, kalo itu cerita maho mana mungkin bisa terbit semudah itu, di jasa penerbit mayor lagi."
Lavid mengangguk paham.
"Gue pinjem, ya? Malas beli gue soalnya. Hehe." Pinta Lavid.
Agus mengangguk, "Pinjem aja, gue udah selesai baca. Tadi cuma ngulang beberapa part yang menarik buat gue doang kok."
Lavid memasukkan buku itu ke dalam tasnya. Ia melirik sekitar, mengernyit saat merasa ada yang kurang.
"Eh, si Gavriel belum berangkat? Biasanya dia berangkat lebih awal dari kita berdua."
"Sebenernya udah berangkat, tadi gue sama dia papasan di parkiran. Tapi dia ditarik pergi Bang Abriel nggak tau kemana, ke markasnya mungkin." Jawab Agus seadanya.
"Elu abis nangis, Gav?"
Suara si wakil ketua kelas—Sandig—membuat atensi Lavid dan Agus yang masih mengobrol menjadi tersita. Mereka menoleh ke arah pintu masuk kelas dan mendapati Gavriel dengan wajah sembabnya sedang ditanya-tanya oleh Sandig.
Setelah sesesi 'tanya-jawab' dengan Sandig selesai, Gavriel berjalan lesu ke arah Lavid dan Agus. Bibirnya melengkung ke bawah dan matanya kembali berkaca-kaca, sesaat kemudianenghambur memeluk Lavid sambil menangis kencang.
Anak-anak di kelas melirik kepo ke arah meja mereka bertiga. Agus meringis, merasa malu dengan tingkah cengeng Gavriel.
"Elu kenapa woi?" Tanya Lavid melepas paksa pelukannya dengan Gavriel.
Tubuh Gavriel merosot dan terduduk di lantai dengan kaki tertekuk dan wajah yang menunduk.
"H-hiks... G-gue... Gue dimarahin Kak Abriel, huweee~"
Lavid menggelengkan kepalanya melihat Gavriel yang kini mewek dengan kaki yang menendang-nendang asal. Cowok itu persis seperti bocah lima tahun yang tidak mendapat mainan kesukaannya.
"Emang lu ngapain aja sampe dimarahin Bang Abriel?" Tanya Agus, menarik tangan Gavriel agar berdiri dan mendudukkan cowok itu di kursi sebelahnya.
Gavriel merengut, "Kemaren gue nyicip cocktail, dikit aja, karena gue penasaran. Gue kira Kak Abriel nggak bakalan tau, ternyata dia tau gara-gara dicepuin si sepupu laknat gue, Kathlyn. Tadi di rumah dia diem aja, gue pikir dia nggak tau. Ternyata dia malah marahin gue di markasnya, mana diliatin sama temen-temennya lagi."
Agus dan Lavid kompak menarik pipi kemerahan Gavriel hingga membuat si empunya meringis sakit.
"Lagian elu ada-ada aja. Jangankan cocktail, gue minum setetes es jeruk aja langsung dikejar sampe komplek sebelah sama Bang Havid." Ujar Lavid gemas.
"Gav, kalo gue jadi abang lu, gue jelas bakalan marah juga. Elu boleh aja nakal, tapi jangan coba-coba buat ngerokok atau minum-minum, jangan ngebahayain kesehatan lu sendiri." Nasihat Agus.
Gavriel mengangguk kaku. Ia menarik Agus dan Lavid agar berdiri dan memeluk erat kedua sahabatnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavid And His Brothers (END)
Teen FictionLavid, si bungsu nakal tetapi nyalinya ciut jika sudah berhadapan langsung dengan dua kakaknya, David dan Havid. Hidupnya sering diatur. Sekalinya memberontak langsung dapat hukuman. Begitulah kehidupan Lavid bersama kedua kakaknya.