Epilogue

10.1K 764 47
                                    

Ruangan bernuansa putih dengan bau antiseptik itu begitu hening meski di dalamnya ada cukup banyak orang. Di atas brankar besar itu terbaring tubuh seorang pemuda yang dipenuhi alat penunjang kehidupan.

Seorang pria berusia 30-an menatap kosong pada pemuda yang terbaring di atas brankar itu. Tangan pria itu perlahan bergerak mengusap rambut hitam legam dihadapannya.

"Baby, kapan kau akan bangun? Abang merindukanmu." Lirihnya.

Orang-orang yang ada satu ruangan bersamanya hanya bisa menatap prihatian. Ini sudah 5 tahun, dan pria itu selalu menanyakan hal yang sama setiap waktunya. Tak ada kata lelah maupun bosan saat ia melakukannya.

Seorang wanita berwajah cantik dan dewasa mendekati pria itu, memeluknya erat dari belakang.

"Dia akan segera bangun, percaya padaku." Ucapnya.

"Abang jangan terus-terusan seperti ini. Bayi kesayangan kita akan segera bangun, kuharap Tuhan memberikan kejaiban itu sekarang." Balas pria lain yang selisih umurnya tak begitu jauh dengan pria pertama.

"Yan, kira-kira kapan Lavid bangunnya? Gue kangen." Ucap seorang pemuda pendek kepada pemuda tinggi di sebelahnya.

"Kita berdoa aja, semoga Tuhan cepet ngabulin doa kita." Balas pemuda tinggi tadi.

Suasana kembali hening.

"Baby!" Pekik pria itu saat melihat pergerakan mata dari pemuda yang di atas brankar.

"Cepat panggil dokter!" Suruhnya.

Pemuda tinggi dan pendek yang tadi langsung berlari keluar ruangan untuk memanggilkan dokter. Perasaan mereka mendadak penuh dengan letupan rasa yang menegangkan sekaligus penuh harap.

Kembali ke ruangan, perlahan tapi pasti, kelopak mata itu terangkat, menunjukkan manik coklat yang jernih.

"Ugh."

"Baby, akhirnya kau bangun." Pria itu berucap dengan air mata yang menganak sungai di matanya. Tetapi bersamaan dengan itu, senyuman haru pria itu terlihat jelas.

Pintu ruang rawat di buka oleh seorang dokter, diikuti dia pemuda tadi di belakangnya. Dokter itu langsung memerikaa pasien yang kini tengah mengerjapkan matanya sambil menatap langit-langit ruangan.

"Syukurlah pasien sudah bangun dari komanya. Tapi, pasien masih butuh perawatan yang intensif agar kesehatannya berangsur membaik. Kalau begitu saya permisi." Dokter itu pamit undur diri.

Sekitar 10 orang yang ada di ruangan itu bergegas mengelilingi brankar dengan wajah penuh haru. Beberapa di antara mereka bahkan berkali-kali mengucapkan syukur.

"H-haus." Ucap pemuda itu dengan suara serak.

Wanita cantik yang memeluk pria tadi mengambilkan segelas air dan meminumkannya pada si pemuda.

"Lavid, akhirnya lu sadar juga. Gue kangen hiks..." Pemuda pendek itu menggenggam tangan pemuda bernama Lavid itu.

"R-riel?" Tanyanya.

"Iya, ini gue, Riel, Gavriel." Balasnya.

Lavid mengalihkan atensinya pada sepasang pria yang menatap dalam padanya. Kedua pria itu mengulurkan tangan mereka, secara kompak menyentuh wajah Lavid.

"B-bang David... Bang Havid."

Air mata Lavid mendadak keluar. Ia rindu.

David dan Havid langsung menundukkan wajah mereka dan mencium dahi Lavid bergantian. Mereka tak bisa menutupi apa yang mereka rasakan saat ini, lega dan bahagia.

"Lima tahun kami menunggumu bangun, Baby. Maafkan Abang, karena karena gara-gara Abang kau harus seperti ini. Hiks... Maaf." Ucap David penuh sesal.

Jujur saja, Lavid tidak begitu ingat dengan kejadian yang menimpanya. Ia hanya ingat wajah-wajah dari orang yang saat ini mengelilinginya. Ia merasa familiar?

Ia menatap wajah-wajah itu dengan seksama dan menyebutkan nama mereka, seingat Lavid.

"Gavriel..."

"Agus..."

"Bang Havid..."

"Bang David..."

"Mbak Neva..."

"Kak Abriel..."

"Bang Galaxy..."

"Tino..."

"Bang Arval..."

"Bang Fahas..."

Setelahnya Lavid terdiam. Ia merasa ada yang kurang.

"Umn, Bang Rama, Kak Nika, Bang Elan dan Gala, mereka mana?" Tanya Lavid.

Tetapi bukan jawaban yang diterimanya, melainkan wajah-wajah bingung yang menatap heran padanya.

"Mereka siapa?" Tanya Yanuar yang Lavid ingat sebagai Agus.

Kenapa mereka bingung? Bukannya Havid dan Nika bersahabat, lalu kedua kakaknya dan teman-temannya juga sudah kenal dengan Rama, Elan, dan Gala?

"Kenapa aku bisa... Berakhir seperti ini?" Tanya Lavid menatap David.

"Maaf, gara-gara abang kamu seperti ini. Seharusnya Abang menjemputmu pulang dari sekolah, tapi karena Abang ada rapat mendadak, jadi Abang tidak bisa menjemputmu. Lalu... Kau memutuskan pulang sendiri dan... Dan kau tertabrak bus kota hingga kau koma selama lima tahun. Sungguh, Abang benar-benar menyesal. Maafkan Abang."
Lavid mengerutkan keningnya. Lima tahun lalu? Yang Lavid ingat terakhir kali adalah ia pergi bersama Galaxy.

Jangan bilang itu adalah...

"Bang, apa Abang pernah mabuk di bar?" Tanya Lavid pada David dan dibalas gelengan olehnya.

"Kenapa bertanya seperti itu?"

Lavid tidak menjawab dan beralih menatap Gavriel.

"Riel, apa lu pernah nyobain cocktail?"

Gavriel mengerut heran, "Kagaklah! Bisa dibunuh sama Kak Abriel gue kalo gitu."

Kenapa kejadian yang Lavid 'ketahui' justru tidak terjadi oleh mereka-mereka yang bersangkutan? Lavid merasa janggal.

Apakah itu semua hanya mimpi?

"Bang, apa orang yang sedang koma bisa ngalamin mimpi?"

"Setau gue, orang yang lagi koma bisa ngalamin lucid dream, apa lu ngalamin itu?" Tanya Galaxy seakan mengerti isi pikiran Lavid.

Lavid mengangguk ragu. Ia merasa itu begitu nyata, seakan mustahil jika itu adalah mimpi. Ia bahkan menjalani hari-hari seperti 'biasa'.

'Jadi itu cuma mimpi gue salama koma? Tapi, jika Bang Rama, Bang Elan, Kak Nika, sama Gala nggak ada di dunia nyata... Terus mereka siapa? Kenapa mereka bisa ada di lucid dream gue?'

Lavid hanya bisa membatinnya.

'Eh, tapi di mimpi gue kan Bang Galaxy jadi pengawal pribadi rahasia gue... Di dunia nyata kok gue lupa ya dia posisinya sebagai siapa? Masa' gue cuma inget namanya doang?''

Lavid menatap Galaxy yang juga tengah menatapnya.

'Misi selesai.'

Lavid And His Brothers (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang