Dipikir Ulang

19.8K 1.4K 23
                                    

Sekarang sudah malam, lebih tepatnya hampir tengah malam. David masih belum selesai dengan pekerjaannya.

Di sisi lain, Havid tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu langsung masuk ke dalam ruang kerja David. Di tangan kanannya ada secangkir kopi panas yang ia letakkan di meja David.

"Kenapa belum tidur?" Tanya David tanpa mengalihkan tatapannya dari layar laptop.

"Insomnia kayaknya." Jawab Havid.

David sejenak berhenti dari pekerjannya. Dirinya meminum kopi yang Havid bawakan. Havid sendiri kini berdiri di belakang David dan menumpukan dagunya di kepala sang kakak.

"Ada apa?" Tanya David peka.

"Bang, pikirkan lagi buat pindahin Lavid ke luar negeri. Kayaknya itu bukan pilihan bagus."

Havid mengalungkan kedua tangannya di leher David. Mulutnya terbuka untuk menghembuskan nafas, membuat rambut David begerak pelan.

"Itu udah mutlak, Havid."

Havid menyingkir dari belakang David dan menyeret sebuah kursi, kemudian duduk di sebelah David.

"Tapi kasian, Bang. Dia bilang nggak mau jauh-jauh dari kita. Lagian... Lebih baik lagi kalau kita yang jagain dia secara langsung. Bukan bermaksud nuduh orang kepercayaan kita berkhianat, tapi... Abang ngerti kan maksud Havid?"

Kini giliran David yang menghela nafas. Apa yang Havid bilang ada benarnya, tapi ia sudah membuat keputusan ini dengan matang.

"Nanti Abang pikirkan, sekarang kau tidurlah. Besok kau harus kuliah."

Havid mengangguk dan sekilas mencium pelipis David, kebiasannya sebelum tidur.

Setelah Havid keluar dari ruangannya, David melemaskan ototnya dan bersandar pada punggung kursi. Matanya menerawang menatap langit-langit ruang kerjanya.

"Apa harus batal?" Monolognya.

•••

Sinar hangat mentari telah menyambut pagi. Lavid masih nyaman tertidur dan semakin merapatkan selimutnya.

Cklek!

Pintu kamar Lavid dibuka oleh Havid. Pemuda berusia 20 tahun itu menggelengkan kepalanya saat melihat sang adik belum bangun.

Ia mendekati sang adik dan menyibak rambutnya yang menutupi mata. Tangannya bergerak mengguncang tubuh Lavid agar bangun.

"Bangun, sekolah." Ucap Havid.

"Eung, masih ngantuk." Balas Lavid sambil berbalik membelakangi Havid.

Havid menghela nafas, tangannya bergerak menarik selimut yang Lavid gunakan.

"Euh, kenapa ditarik." Protes Lavid dengan mata masih tertutup, membuatnya terlihat imut di mata Havid.

"Bangun atau Abang gigit!" Ancam Havid yang tidak diindahkan oleh si empunya.

"Well," gumam Havid.

"Akh, sakit!"

Lavid berteriak saat tiba-tiba Havid mengigit pipi tembamnya. Ia sontak bangun dan mengusap pipinya yang terdapat bekas gigitan.

"Sia—"

"Berani ngumpat, Abang gigit lagi."

Lavid langsung kicep. Ia mendelik sinis ke arah sang kakak lalu bergegas ke kamar mandi.

Havid terkekeh kecil dan merapikan tempat tidur Lavid, setelah itu dirinya menyiapkan keperluan sekolah sang adik.

Saat Lavid keluar dari kamar mandi, Havid sudah tidak ada di sana. Ia segera memakai seragam yang sudah Havid siapkan di atas kasurnya.

Selesai dengan persiapan sekolahnya, Lavid turun ke lantai bawah untuk ikut sarapan. Di sana sudah ada David dan Havid yang sibuk dengan ponsel masing-masing.

"Masih pagi udah main ponsel," julid Lavid yang seketika membuat kedua kakaknya itu berhenti main ponsel.

Mereka memulai acara sarapan pagi itu dengan keheningan. Selesai sarapan Lavid terlebih dahulu keluar, menyisakan Havid dan David yang masih di sana.

"Eummm, gimana yang kemarin, Bang? Udah abang pikirin?" Tanya Havid was-was. Ia takut jika David tidak berubah pikiran.

Cukup lama menunggu hingga akhirnya David mengangguk. Senyuman lebar dari Havid terbit seketika, ia mendekati sang kakak dan memeluknya erat.

"Makasih, Bang."

David berdehem dan mengelus surai Havid.

"Wuuu! Bang Havid manja!"

Havid seketika melepaskan pelukannya saat mendengar teriakan melengking Lavid. Lavid sendiri cengengesan dan langsung kabur.

Niat hati mau memanggil Havid untuk segera berangkat, tapi malah melihat sisi manja Havid pada David. Lucu sekali.

Havid menatap kesal pada Lavid saat mereka sudah ada di halaman depan.

"Cieee, marah kiw."

Lavid mencolek dagu sang kakak, tapi langsung ditepis kasar oleh Havid. Dirinya memasuki mobil dengan tidak santai. Havid tertawa lalu ikut masuk ke dalam mobil.

Mobil berwarna lilac itu pun keluar dari halaman rumah dan melaju dengan kecepatan sedang di jalan.

Lavid And His Brothers (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang