1. Ikhlas atau Pelit?

2.8K 119 15
                                    

Hari ini aku benar-benar bertekad untuk menghadap HRD. Namun aku ragu, apakah aku harus masuk ke kantor HRD di lantai dua dan berbicara dengan formal? Pasti sekarang sedang ramai. Aku harus melewati kubikel Divisi IT di depan pintu kaca. Arrghh! Ada si genit Topan di situ!

Belum lagi ketika aku memasuki pintu kaca, aku harus melewati kubikel Divisi Keuangan yang seakan ada tulisan "jangan ganggu" di kening mereka. Lalu ada Bu Beatrice—Kepala Divisi yang membawahi Divisi Keuangan, HRD, dan IT—yang akan bertanya, "Ada keperluan apa, Marissa?" Kelihatannya ramah, tapi tampangnya seolah berkata, "Kalau enggak penting-penting amat, mending balik aja deh. Jangan buang-buang waktu kerja buat basa-basi."

Itulah gambaran rintangan yang harus kuhadapi. Ah, bodo amat deh. Aku mau ke dapur aja dulu bikin kopi. Siapa tahu otak jadi segar. Tadi sewaktu briefing aku sempat mengantuk dan ditertawakan oleh Naura.

"Eh, Mbak Siti. Cerah banget hari ini kelihatannya. Pake jilbab sama baju warna pink. Jadi makin cantik," goda Topan.

Aku lupa kalau dapur juga di lantai dua. Kepala Topan muncul dari kubikelnya. Sepertinya minyak jelantah baru aja menumpahi rambutnya.

"Jangan suka ngubah nama orang," sahutku dengan ketus.

"Iya deh, Mbak Marissa. Gitu ya, curang. Giliran Bang Roma aja boleh manggil Siti—" Seketika Topan mengunci mulutnya saat Bu Beatrice keluar dari pintu kaca.

"Topan, perbaiki masalah website sekarang juga. Supaya Marissa bisa menerbitkan artikel prestasi para penerima beasiswa hari ini juga. Jangan sibuk menggombali perempuan," tegur Bu Beatrice.

Kalau Bu Beatrice sudah ceramah, mana ada yang berani membantah? Apalagi kalau kedua pipi putihnya sudah memerah, karena menahan amarah. Topan masih bersyukur Bu Beatrice hanya mengeluarkan mata bak Nyi Roro Kidul. Mana tadi si Topan menyebut Pak Roma—Direktur Eksekutif kami—dengan sebutan Bang Roma lagi. Ini biasa sih di kalangan para pegawai, tapi kan Topan tetanggaan sama kaki tangannya. Dasar, sinting!

"Marissa, selama website bermasalah, kamu fokus dengan majalah dan poster untuk promosi launching kartu zakat kita yang terbaru bersama Fatih," pesan Bu Beatrice.

"Baik, Bu," jawabku. Selera untuk menyeruput kopi hangat seakan memudar. Tapi enggak apa-apalah, untuk amunisi hari ini.

Masalahnya aku masih ingin bertemu Pak Yusuf—Manager HRD—untuk memastikan kontrakku. Apa aku coba chat Alma ya? Dia satu-satunya Divisi Keuangan yang ramah denganku.

Eh, pucuk dicinta, ulam pun tiba. Aku melihat Pak Yusuf sedang mengaduk gelas di atas pantry dapur. Dari aromanya, sepertinya dia menyeduh kopi hitam pekat favoritnya.

"Ngopi, Pak?" sapaku. Basa-basi dululah.

Pak Yusuf menyambutku dengan semringah. "Iya, dong. Biar semangat. Silakan, silakan, kalau mau bikin kopi. Mumpung Pak Ruli baru aja ngisi stok kopi di lemari."

Pak Ruli tersenyum kepadaku dan meminta izin untuk keluar dari dapur. Aku jadi teringat perkataan Naura tempo hari.

"Gaji lo itu setengahnya gaji Pak Ruli. Masa lo yang lulusan luar negeri digaji lebih dikit dari OB. Jangan mau! Udah tiga bulan lebih, masa Pak Yusuf masih belum ngubah kontrak lo dari magang ke pegawai kontrak." Begitulah ceramah Naura, teman dekatku di Divisi Beasiswa. Berkat ceramah itu juga yang membuatku resah untuk segera menghadap Pak Yusuf.

Aku mengambil gelas berlogo "Baitulmaal Al-Barakah" dari lemari pantri sambil melirik ke arah Pak Yusuf yang sedang menyeruput kopi sembari membaca sesuatu pada ponselnya. Kalau ada Bu Beatrice pasti dia akan diceramahi, karena minum sambil berdiri.

"Oh iya, Pak, saya mau nanya. Boleh enggak, Pak?" tanyaku dengan hati-hati.

"Boleh dong," jawab Pak Yusuf santai. Ini yang membuatku enggak ragu untuk bertanya secara santai kepadanya. Dia kerap kali berbicara santai kepada pegawai-pegawai di Baitulmaal Al-Barakah.

Cut It Out (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang