15. Orang Kepercayaan

355 38 7
                                    

Suara ketukan pintu diiringi dengan panggilan, "Ini Abang."

Aku membuka pintu dan Abang memberikan jilbab yang terjatuh di depan. Sebelumnya, aku memakinya lewat pesan. Makanya dia menghampiriku.

"Kan Abang tadi udah teriak ngasih tahu kalau Dastan di sini. Budeg?"

Aku menendang kakinya. "Aku tadi lagi dengerin video. Suaranya kenceng. Tapi pas aku datang, kok Dastan enggak kelihatan?"

"Dia ada di kamar mandi, di kamar Abang."

Sebelum Abang menutup pintu, aku memanggilnya. "Bang, ambilin kue pie buah di bawah dong. Satu, eh empat deh."

"Ke bawah sendirilah."

"Enggak mau. Di depan ada Dastan. Aku udah ternodai." Refleks aku menutup rambutku yang tergerai. Aku baru sadar, kunciran rambutku lepas di mana?

"Lebaaaaayyyy! Lagian kok tumben pulang cepet? Tadi Abang lihat dari jendela kamar. Adek keluar dari mobil. Sama siapa?"

"Ih, kepo! Itu mobil kantor kok. Ya, sama teman kantor lah. Lagian Dastan kenapa di sini? Nungguin aku?"

"Kepo dan ge-er! Ada bisnis rahasia pokoknya. Udah keluar sana. Ambil sendiri kuenya."

Aku mendengkus kesal dan setelah keluar kamar aku menemukan ikat rambutku yang terjatuh. Tadinya aku ingin pura-pura berjalan santai dan tatapan tertuju lurus ke arah tangga di belakang sofa ruang teve. Jika Dastan menyapaku, aku akan tersenyum singkat.

Namun pertahananku runtuh saat Abang memanggil, "Dek, ada durian. Dastan bawa nih. Eit, kalau mau makan, ambilin dulu kue sus di bawah. Sekalian bawain buat Dastan."

Ih, perhitungan! Tapi aku mau duren. Pantas saja saat aku datang tadi, aku mencium bau duren.

Eh, Dastan malah tertawa sambil melirikku. Bayangan kejadian tadi membuat pipiku memanas. Mungkin jika aku bercermin, wajah ini sudah semerah tomat. Aku bergegas turun ke bawah.

***

Aku sempat enggak bisa menikmati duren, karena ingatan kejadian tadi. Namun sepertinya Dastan terlihat baik-baik saja. Untung saja aku kepikiran untuk menanyakan Balqis.

"Berarti akadnya di Bengkulu, tapi resepsinya di Bekasi?" tanyaku.

Dastan mengangguk. "Mau bareng ke Bengkulu? Aku belum pesan tiket pesawat. Kalau mau, sekalian."

Hampir saja aku tersedak. Anehnya, aku enggak melihat Dastan meralat perkataannya. Lalu dia mengerutkan keningnya.

"Sama Balqis juga baliknya," ujar Dastan.

Dasar! Bikin orang jantungan!

Aku segera mengangguk. "Boleh-boleh. Kirim nomor rekening kamu. Nanti aku transfer duitnya."

"Nanti aja. Gampang."

"Terus kalian mau bisnis apaan sih?" Aku menatap Abang dan Dastan.

"Abang kamu mau ngajakin buka kursus privat. Tapi sebenarnya aku enggak jago-jago banget kalau pelajaran umum. Lebih tepatnya udah lupa. Kelamaan enggak dipelajari lagi," ungkap Dastan.

"Tapi bukan berarti enggak bisa, kan? Sebenarnya Abang punya SDM lainnya. Cuma Abang perlu ada orang yang bisa dipercaya untuk mengelola. Dastan juga bisa ngerekrut temannya di pascasarjana, barangkali ada yang bersedia mengajar. Kita akan promosiin kalau yang mengajar itu mahasiswa Universitas Kebangsaan. Jadi bagi yang kepingin lulus SMA masuk ke Universitas Kebangsaan, bisa daftar di kursus kita," jelas Abang.

Aku mengangguk dan terpukau. Keren juga abangku. Apa mungkin dia sudah lelah menjadi dosen dan ingin berbisnis seperti Mama?

"Berarti Abang percaya sama Dastan?" Aku menunjuk kepadanya yang sedang sibuk melahap duren. Aduh, kenapa aku bertanya seperti itu sih?

Cut It Out (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang