24. Gajah di Pelupuk Mata

380 45 11
                                    

Rentetan UAS telah usai, tapi aku tetap enggan pergi ke kantor. Meskipun aku sudah meluapkan kekesalanku kepada orang-orang menyebalkan itu, aku tahu kalau semua itu enggak mengubah keadaan. Harusnya pihak kantor menegur tindakan Zaskia yang mengajak Mikha saat itu. Apalagi Zaskia menyalahgunakan fasilitas kantor untuk ajang lomba model muslimah.

Namun aku masih melihat Zaskia menjadi MC pada acara launching majalah kantor kami. Aku bisa melihatnya wajah bahagianya lewat foto-foto yang diunggah di sosial media.

Padahal aku sangat tahu bahwa Mikha itu salah satu orang yang menghina kantor di sosial media pasca pemecatan masal. Seharusnya kantor meng-black list dia kan? Kenapa malah Zaskia mengajaknya dan parahnya memakai mobil kantor? Dijemput pula. Hal itu dibiarkan begitu saja oleh kantor. Sama halnya dengan kasus Qisya. Seharusnya pihak kantor bisa mengusut kasus hacker itu. Ya, kalau terbukti sih. Atau bisa jadi pihak kantor malas untuk mengurusi ini.

Satu hal yang aku tahu, sebaik apa pun aku berinteraksi dengan teman kantor, ujung-ujungnya mereka akan memihak teman lamanya. Buktinya Shareen masih sibuk menyindirku di story Instagramnya. Zaskia pun ikutan. Aku juga enggak melihat Naura berusaha berbaikan lagi denganku. Dia juga enggak kelihatan membalas story Shareen dan Zaskia yang mengejekku. Padahal Naura orang yang paling suka menebar peperangan di sosial media. Pengaruh dari Mbak Lusi.

Namun Naura masih terlihat ceria di kantor dan bahkan dia mengunggah foto makan siang bersama Mbak Lusi, Salman, dan Lingga. Harusnya aku di situ. Akan tetapi mereka seperti enggak merasa kehilangan diriku.

Aku jadi mengerti. Mungkin jika aku bertengkar dengan Mbak Lusi, meski aku benar, Naura akan tetap memberikan punggungnya. Sampai kapan pun aku enggak akan sebanding dengan Mbak Lusi. Dan itu berlaku dengan semua penghuni kantor.

Lingga masih rutin mengirimku pesan. Enggak ada satu pun pesannya kubalas. Namun sepertinya dia enggak mempunyai nyali untuk meneleponku. Bisa jadi dia illfeel, karena aku telah membentaknya seminggu yang lalu. Hanya Fatih yang pesannya kubalas. Dia memang partner terbaikku. Kini, aku sedang konsultasi masalah nasibku di kantor kepadanya.

Fatih: Kalau masih magang dan mau batalin kontrak, setahuku enggak denda, Mar. Pengecualian kalau pegawai kontrak kayak Alma. Tapi Alma alhamdulillah bisa resign. Berkat bantuan Bu Beatrice. Alma juga nyerahin bukti kesehatannya menurun akibat tekanan di kantor. Kamu mau resign?

Marissa: Enggak tahu, Tih. Aku juga belum ada kerjaan baru, tapi kayaknya aku enggak sanggup buat balik ke kantor. Daripada stres, karena lingkungannya yang enggak baik. Kamu paham, kan?

Fatih: Iya, paham. Jangan sampe kamu kayak Alma. Kita semua berhak memilih lingkungan kerja yang baik. Aku juga rencana mau resign, tapi sekitar dua-tiga minggu lagi. Tergantung kerjaan barunya. Kalau magang dan mau resign itu santai di sini, Mar.

Marissa: Aku malah rencana mau izin lagi, karena temanku nikah. Enggak peduli diizinin apa enggak, yang penting aku izin lewat chat ke Pak Yusuf.

Fatih: Hahaha. Ya udah izin aja. Lagian nanti sebelum akhir pekan ada tanggal merah, cuti bersama. Biar aku yang nge-handle.

Hanya Fatih yang bisa diandalkan. Aku juga turut senang dia mendapatkan pekerjaan baru yang lebih menjanjikan. Semoga rencana pernikahannya dengan Alma berjalan lancar.

Lalu telepon masuk. Paling-paling Balqis ingin mengabsen bawaanku untuk besok dan mengingatkan jadwal penerbangan.

***

Cut It Out (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang