Kabar gembira dari teman-teman kelas bahwa hari ini semua perkuliahan diliburkan. Ada acara ulang tahun kampus. Sebenarnya semua mahasiswa dianjurkan untuk mengikuti rentetan acara, tapi lebih baik aku fokus untuk proposal tesis. Aku berencana ingin ke Perpustakaan Nasional (perpusnas) untuk mencari beberapa referensi.
Balqis: Mar, kamu hari ini kuliah sampe jam berapa?
Kalau Balqis sudah mengirim pesan seperti ini, tandanya dia lagi bosan. Dia sempat cerita kalau acara akad dan resepsinya ditunda sampai Bulan Desember supaya keluarganya enggak perlu izin kerja terlalu lama. Masalahnya banyak keluarganya yang merantau ke luar kota bahkan beda pulau. Enggak bisa hanya sehari-dua hari izin untuk pergi ke Bengkulu. Aku sih sangat senang dengan kabar itu, karena pasti kantor dan kuliah libur.
Aku juga heran dengan Balqis, kenapa dia enggak balik ke Bengkulu? Katanya minggu depan. Itu diucapkannya minggu lalu. Tapi hingga kini orang itu masih saja mendekam di rumah tantenya.
Marissa: Hari ini enggak ada kuliah. Aku mau ke perpusnas. Jam delapan jalan dari rumah.
Balqis: Ikut! Aku siap-siap ya!
Satu lagi yang membuatku aneh, entah kenapa Balqis dan Dastan itu sudah seperti satu paket. Dulu saat kami di Kairo, beberapa kali Dastan sering diajak Balqis. Namun enggak sesering ini.
Balqis hanya tersenyum lebar saat mendatangiku yang duduk di salah satu bangku stasiun. Padahal dia hanya bilang, nanti kita ketemuan di Stasiun Juanda ya! Enggak ada kata-kata bahwa Dastan akan membuntutinya.
"Dastan habis nginep di rumah Tante. Dia katanya sekalian mau nyari referensi, terus pulang ke kosan," ungkap Balqis. Sepertinya dia bisa menangkap raut wajahku, yaitu kening mengkerut dan lirikan sinis.
"Dia yang maksa ikut," celetuk Dastan. Tatapannya fokus kepada ponsel.
Balqis sontak menginjak sneakers milik Dastan. Lalu dia melototi Dastan, dan menarik tanganku dengan langkah kaki lebar-lebar.
Kami beruntung perpusnas enggak terlalu banyak pengunjung. Makanya Balqis segera membawaku dan Dastan untuk berkeliling ke sekitar lobi. Padahal niatku setelah menaruh tas di dalam loker, aku segera pergi ke lantai dua untuk membuat kartu keanggotaan.
Namun ternyata asyik juga berkeliling di lobi. Ruangannya dibuat dengan kesan lawas ditemani instalasi seni yang memaparkan budaya negara kami. Seingatku, dulu perpusnas enggak sekeren ini dan pengunjungnya cenderung sedikit.
Aku mengingatkan Balqis supaya segera ke lantai dua. Lagi pula, aku ke sini untuk belajar. Hanya aku dan Balqis yang membuat kartu anggota, karena Dastan ternyata sudah memilikinya. Enggak heran sih, orang kayak dia pasti tongkrongannya tempat-tempat seperti ini. Apalagi dia seperti enggak mempunyai teman. Ups! Eh, aku enggak bermaksud untuk mengejeknya! Tapi kenapa coba dari dulu dia selalu membuntuti Balqis? Kalau dia mempunyai teman, dia pasti sibuk dengan teman-temannya.
"Kita ke lantai empat dulu yuk. Aku lihat di YouTube, katanya ada koleksi pameran gitu," ajak Balqis.
"Qis, aku mau langsung ke lantai lima belas. Nyari kumpulan skripsi sama tesis. Habis itu ke lantai dua puluh buat nyari jurnal," tolakku.
Namun Balqis merengek dan menyeretku keluar dari lift saat kami tiba di lantai empat.
"Eh, aku mau ke lantai 21 dan 22 ya. Nanti kalau udah selesai, chat aja." Dastan berbalik menuju lift.
"Heh! Dia sepupu kamu! Kamu yang tanggung jawab nemenin dia. Aku kan yang dari awal ke sini buat nyari referensi dan kalian yang ngikutin," protesku kepada Dastan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut It Out (Proses Terbit)
ChickLitMarissa merasa kehidupannya tidak pernah berjalan mulus. Dimulai ketika dia menanyakan nasib karirnya kepada HRD, dan dia malah diceramahi soal keikhlasan dalam bekerja. Diremehkan oleh dosen metodologi penelitian hanya karena dia lulusan timur teng...