18. Pikiran Sempit dan Rumit

338 38 11
                                    

"Oke, kalian stop ya! Aku butuh Marissa untuk pendapatnya masalah souvenir. Dan aku butuh Dastan buat angkut barang. Lagian ini bukan pertama kalinya kita jalan bertiga. Aneh banget kalian." Balqis sudah seperti guru SD yang melerai muridnya bertengkar. Ditambah selama dia bicara, dia mengacungkan telunjuknya ke wajahku dan Dastan secara bergantian.

Akhirnya kami berdamai dan keluar dari stasiun. Setelah kami mendekati pasar, di sepanjang depan ruko-ruko banyak sekali pedagang batu akik. Aku jadi teringat Papa yang menyukai batu akik. Tapi aku trauma membelikannya. Sebelum pulang ke Indonesia, aku pernah membelikannya cincin batu akik di Pasar Khan Khalili. Padahal aku sudah meminta penjualnya untuk memakainya dan pas di jari tengahnya. Apalagi jarinya orang Arab kan lebih besar dari orang Indonesia. Tahu enggak? Ternyata hanya muat di jari kelingkingnya Papa. Hadeh.

"Bal, enggak beli buku yasin?" Dastan menunjuk kepada toko-toko yang menjual Al-Quran, dan buku-buku doa.

"Aku tuh mau nikah, Das. Bukan acara empat puluh harian." Balqis mendengkus kesal. "Kamu kebiasaan. Dibilangin jangan panggil 'bal, bal!' Emangnya aku bal-balan?"

Seumur-umur di Jakarta, aku baru pertama kali ke Pasar Jatinegara. Oh, ternyata namanya Mester. Aku membaca tulisan pada gerbang masuk, tepat di bawah tulisan Pasar Regional Jatinegara. Pantesan saat ditelepon sebelum berangkat, Balqis sempat menyebutkan Pasar Mester.

"Yah, belum banyak yang buka. Kamu sih mintanya kepagian, Das," keluh Balqis.

Namun akhirnya kami mendarat di sebuah toko yang bisa menarik perhatian Balqis. Seiring kami mengelilingi toko-toko, beberapa pegawai toko mulai membuka pintu lipat besi.

"Bagusnya cuma nama aku sama Kak Rafasya atau ada gambar ya?" Balqis menaruh telunjuknya di depan bibir mungilnya. Lalu dia melihat kembali beberapa contoh mug yang dikeluarkan oleh pegawai toko.

"Cakepan ada gambarnya, Mbak. Kayak ini." Pegawai toko menyodorkan mug berwarna putih. Ada tulisan nama kedua mempelai disertai gambar pengantin berpose mesra.

Aku yakin Balqis mengatakan dalam hatinya, "Ugh, enggak banget deh." Terlihat jelas pada raut wajahnya. Apalagi Kak Rafasya itu orangnya serius. Kayak cowok di sampingku ini, yang kini sibuk dengan ponselnya sambil sesekali menguap. Itu kodenya supaya Balqis segera menentukan pilihannya. Balqis? Masa bodoh kayaknya.

"Gambar piramid aja, Qis. Oh, atau huruf hieroglyphs yang biasa di kertas papirus," cetusku. Lalu aku beralih kepada mbak pegawai toko, "Mbak, kalau kita punya desain gambarnya sendiri bisa enggak? Kayak gini misalkan." Aku memerlihatkan huruf hieroglyphs yang barusan kucari pada kolom pencarian.

"Bisa, bisa." Mbak pegawai toko mengangguk.

"Bal, harganya udah cocok belom? Nanti kamu udah cocok barangnya, eh harganya enggak cocok. Kita muter lagi," gerutu Dastan.

"Ih, kamu protes mulu! Udah cocok kok. Malah aku dapet diskon. Soalnya aku sekaligus beli kotak seserahan. Bagus-bagus soalnya di sini," tunjuk Balqis kepada kotak-kotak berwarna biru yang baru saja dipilihnya. Katanya nanti akad dan resepsinya akan bernuansa biru, warna favoritnya. Dan katanya Kak Rafasya menyetujuinya.

Setelah membayar uang muka dan menuliskan alamat pengiriman, kami berjalan mencari pintu keluar.

"Laper nih. Kita makan soto betawi yuk. Kata tanteku soto betawinya Bang Mus enak. Deket sini. Aku yang traktir," ajak Balqis.

Balqis enggak bohong. Benar-benar enak soto betawinya! Paru sapinya meskipun sudah diguyur oleh kuah santan, tapi masih terasa renyah. Perpaduannya pas dengan nasi hangat, emping, dan perkedel. Meskipun tempat makannya seperti kedai makan sederhana lainnya, tapi soto betawi yang kusantap ini layak diacungkan jempol.

Cut It Out (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang