16. Bos Enggak Tahu Diri

387 39 7
                                    

Begini rasanya terjebak oleh dilema. Antara meninggalkan indomie pedas yang sudah tersaji-tentu saja aku enggak bisa mengabaikannya, karena perutku berokestra akibat aromanya-atau aku tetap makan dan terpaksa harus berinteraksi kepada orang yang kuhindari.

Jujur, aku enggak bisa mengabaikan percakapan Lingga dan Kirana saat di mobil. Lingga yang mengabari tunangannya bahwa dia enggak pulang ke rumah, ditambah dia menitipkan salam kepada calon mama mertuanya. Beuh, sudah seperti suami-istri betulan. Terus apa-apaan pula dia menuduhku enggak peka terhadap perasaannya?

"Tumben banget makan indomie di sini," ujar Lingga.

Aku lupa kalau warung ini tempat favoritnya Lingga dan teman satu divisinya. Bu Raya sering meminta Pak Ruli untuk membelikan indomie di sini. Saat ini sedang aku mengabari Naura dan Mbak Lusi. Mereka berdua langsung menitipkan pesanan indomie kornet favorit mereka berdua.

"Lagi kepengen yang pedes-pedes. Biar otak enggak pusing. Kenapa ya, indomie buatan warung lebih enak daripada bikin sendiri?"

Lingga tertawa. Suara tawanya yang renyah membuat hatiku merasa senang. Padahal suaranya enggak terlalu ngebas, atau berat. Namun suaranya ringan, tapi renyah kayak kerupuk. Ngerti enggak sih? Beda dengan Dastan yang bersuara berat, ya kayak buku bacaannya yang bikin hidup makin berat. Ah, kenapa aku kepikiran Dastan sih?

"Ya, itu sugesti aja sih, Mar. Katanya lebih enak dimasakin orang, karena kalau kita masak sendiri biasanya udah kenyang nyicipin duluan. Itu kata ibuku sih," jawabnya.

Masuk akal sih.

"Emangnya pusing kenapa?" tanyanya.

Aku pun menceritakan rentetan kejadian sebelum aku berakhir di warung ini.

"Aku bukan belain Pak Nurdin, tapi dia benar, Mar. Aku juga awalnya begitu waktu kerja di sini. Tapi ya realitanya dana zakat dan wakaf terbatas, orang yang mengajukan dana membludak. Jadi mau enggak mau kita harus mempunyai sistem untuk menyaring siapa yang benar-benar membutuhkan. Penyebabnya sih, karena di masyarakat kita banyak yang berlomba-lomba untuk meminta bantuan, tapi sedikit yang mempunyai jiwa penolong," terang Lingga.

"Iya, aku setuju sama kata-kata kamu. Btw, dosen aku pernah cerita kalau beliau ngediriin koperasi yang menyediakan dana pinjaman tanpa riba untuk modal usaha. Eh, apa yang terjadi? Dananya enggak ada yang kembali! Makanya kebanyakan akad pembiayaan modal usaha di bank berbentuk mudarabah. Bank sebagai pemilik dana dan peminjam sebagai pengelola. Biar ada bagi hasilnya."

"Kan masyarakat kita begitu. Lebih galak yang ngutang daripada yang ngutangin. Orang yang ngutang pas dapet duit malah buat vacation, bukan untuk bayar utang. Giliran ditagih, orang yang ngutangin dibilang pelit atau perhitungan." Lingga mengedikkan bahu.

Aku tertawa.

"Tapi untuk kasus kamu dimarahi Pak Harun, kalau menurutku enggak seharusnya dia memarahi kamu. Apalagi kalau sebelumnya dia setuju-setuju aja. Harusnya kamu sebagai bawahannya, ya dibimbing. Apalagi kamu enggak punya basic dalam bidang jurnalistik atau komunikasi."

"Aku waktu masuk sini ditawari mau posisi marketing, keuangan, atau content writer? Ya, aku pilih yang terakhir lah. Kalau keuangan, aku bukan orang akuntansi. Paling aman ya content writer, karena aku punya pengalaman jadi kru majalah waktu kuliah. Kalau marketing, aku enggak pintar promosi. Padahal Mama jago banget yang namanya promosi. Lihat aja M&M Bakery, laris banget karena Mama rajin promosi. Tapi content writer kan promosinya lewat tulisan. Jadi aku enggak perlu basa-basi di depan orang."

"Oh, makanya kamu suka bawa kue itu, karena mama kamu punya usaha bakery?"

Aku mengangguk.

"Pantesan setiap aku nganter kamu, rumah kamu selalu ramai orang bolak-balik."

Cut It Out (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang