11. Jangan Merasa Paling Menderita

467 48 17
                                    

Aku tercengang dengan isi Museum Fatahillah yang mirip rumah belanda yang akan dijual. Alias kosong! Kemudian aku melihat Dastan tertawa sinis penuh kemenangan.

Tadinya aku ingin berkomentar, "Buat apa kita masuk ke dalam sini hanya untuk melihat rumah kosong?" Namun kutahan, karena akan semakin membuat Dastan besar kepala.

Aku tahu biaya memelihara barang-barang antik seperti di museum itu mahal. Semoga Indonesia lekas memperbaiki museum-museum yang ada untuk melestarikan sejarah. Supaya aku bisa menikmatinya seperti saat di Mesir dulu.

"Kita ke Museum Bank Mandiri aja yuk," ajak Balqis.

Saat kami membayar karcis untuk museum, aku dan Dastan dengan bangga memamerkan kartu mahasiswa kami.

"Yang masih calon mahasiswa S2 pake harga normal ya, Mbak," ledekku.

Eh, saat kami berada di dalam museum, Balqis membalasku. Dia dan Dastan berpose di belakang meja yang didesain mirip dengan meja teller Bank Mandiri. Pasti mereka meledekku, karena poster iklan Baitulmaal Al-Barakah yang baru.

Lingga berhasil membujukku untuk menjadi model poster. Padahal dia berjanji aku hanya menjadi model berpose sedang transaksi di depan mesin ATM dan hanya terlihat dari samping. Ternyata dia juga memintaku untuk berpose menangkupkan kedua tangan bersama Zaskia. Kini wajahku tersebar di sosial media.

Taraaa ...! Dastan dan Balqis sedang berpose seperti itu untuk meledekku. Aku memotret mereka berdua. Akan kusebar foto ini di sosial media supaya pose alay mereka akan menjatuhkan wajah intelektual mereka. Haha.

Lalu saat kami melewati tumpukan replika emas batangan, Dastan berpura-pura menjadi maling. Dia menggenggam ranselnya dan berjalan dengan mengendap-ngendap. Terkadang aku heran dengan selera humornya Dastan. Absurd. Enggak lucu, tapi aku tertawa karena ketidaklucuannya. Dia enggak memerlihatkan gaya humornya ke banyak orang. Makanya aku menjepretnya dan akan kusebarkan bersama foto tadi.

"Mending kita ngopi cantik aja deh. Tadi cafenya bagus-bagus. Estetik gitu," cetus Balqis.

"Kalau ngopi cantik, aku enggak ikut. Soalnya aku ganteng," sahut Dastan.

"Enggak lucu. Garing," cibir Balqis.

"Tapi Marissa ketawa tuh." Dastan melirikku.

Bukan hanya tertawa, tapi air mataku sampai keluar. Masalahnya Dastan berbicara seperti itu dengan wajah datar. Dia itu mau ngelucu, tapi enggak lucu. Mau narsis, tapi raut wajahnya enggak mendukung. Paham enggak sih?

"Marissa itu selalu ketawa, bukan karena kamu lucu. Tapi karena kamu enggak lucu. Mungkin dia kasihan sama kamu, makanya dia ketawa. Kamu kalau nyari istri kayak Marissa, biar seenggaknya ada yang mau berkorban ketawa buat kamu."

Ucapan Balqis membuatku tersandung salah satu pot di depan Kedai Seni Djakartè. Hampir saja aku menubruk Dastan yang berjalan di depanku. Apa-apaan sih Balqis?!

Sembari kami memilih minuman pada menu, aku mengalihkan pembicaraan. Aku menceritakan kejadian yang kualami di kampus beberapa hari yang lalu. Balqis sendiri sibuk memotret lukisan yang dipajang di atas dinding yang berupa susunan batu bata yang sengaja ditonjolkan. Kursi-kursi dan meja-mejanya juga disenadakan dengan suasana cafe yang serba lawas. Mirip dengan ruang tamu di rumah Mbah di Jawa Timur.

"Itu udah biasa, Mar. Kita, lulusan Al-Azhar pasti bakal diremehin hanya gara-gara enggak pernah menulis skripsi," ujar Dastan.

"Padahal kalau di jurusan Syariah Islamiyah, ada mata kuliah Qo'ah Bahts. Isinya sama aja kayak Metodologi Penelitian. Terus kita diminta bikin bahts juga. Tapi kenapa dosen-dosen tuh enggak pernah berkomentar kalau lulusan dalam negeri kurang dalam Bahasa Arab? Terus lulusan Eropa dan Amerika yang fokus di kajian Timur Tengah, emang ada jaminan menguasai literatur klasik?" protesku.

Cut It Out (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang