26. Berpaling Kepadaku

406 48 12
                                    

Ada yang aneh dengan Dastan. Dia agak ... manis. Bukan, aku bukan sedang mengomentari fisiknya. Meski dia sebenarnya manis sih. Ah, kan! Pipiku jadi menghangat! Maksudku, perlakuannya kepadaku. Aku enggak tahu ya kalau dia seperti itu kepada perempuan lain. Tapi aku cukup paham dengan sifat Dastan dari dulu. Dia bukan orang yang hangat. Ceplas-ceplos. Stereotip. Biasanya lelaki seperti itu menjadi idaman di novel-novel romantis. Namun aku berusaha jujur, aku enggak siap jatuh cinta kepada orang dengan tipe seperti itu. Apalagi aku orangnya cepat tersinggung.

Dimulai dari kejadian di pantai. Dia menaruh sandalku saat aku menimpuknya. Bahkan saat kami makan di warung seblak pinggir pantai, dia sempat menarik kursi plastik dan mempersilakanku dengan isyarat matanya. Agak cheesy sih, dan aku sedikit merinding.

Lalu aku menjadi kikuk saat membuka pintu kamar dan mendapati Dastan mengeringkan rambut yang basah dengan handuk. Dia menempati kamar tidur yang kecil dan enggak ada kamar mandi di dalamnya. Ekspresinya berkebalikan denganku yang kaku, dia malah semringah saat melihatku.

"Hari ini jadi jalan-jalan?" tanyanya.

Aku jadi seperti orang dungu. Kedua mataku mencari-cari benda yang bisa kutatap demi mengalihkan pandanganku dari wajah Dastan yang segar setelah mandi. Kata-kata enggak bisa keluar dari mulutku. Daripada pusing, aku berlari meninggalkannya menuju lantai bawah.

"Ayo, kita harus jalan-jalan sepuasnya hari ini. Soalnya besok kita udah harus siap-siap buat acara akad. Lusa keluarganya Kak Rafasya bakal datang. Terus ada malam bainai juga. Ah, sibuk pokoknya," cerocos Balqis saat kami sedang menyantap sarapan.

Aku baru tahu soal malam bainai. Keluarga ibunya Balqis memutuskan adanya malam bainai, karena ibunya campuran antara Bengkulu dan Padang. Dan ayahnya Balqis itu orang minang yang merantau ke Bengkulu. Jadi di pernikahannya akan ada percampuran dua budaya. Sedangkan di Bekasi nanti, resepsinya akan memakai adat betawi sesuai dengan keluarganya Kak Rafasya.

"Kita naik tranportasi umum aja. Nostalgia jalan-jalan di Kairo. Ngebolang," cetus Balqis.

Lagi pula aku sama sekali enggak keberatan menaiki angkot di Bengkulu. Udaranya segar dan enggak sesak dengan kemacetan seperti di Jakarta. Kalau di Jakarta, aku membayangkan kemacetannya saja sudah bikin malas keluar rumah.

Tujuan pertama kami adalah rumah kediaman Bung Karno pada waktu pengasingan di Bengkulu.

"Ini rumah kediaman Bung Karno sewaktu penjajahan Belanda, sebelum jadi presiden. Jadi kan Bung Karno masih muda dan enerjik. Beliau sangat menggebu-gebu untuk memerdekakan Indonesia dan jiwa nasionalismenya sangat tinggi. Makanya Belanda enggak suka dan Bung Karno akhirnya diasingkan," terang Dastan saat kami memasuki pelataran rumah tersebut.

"Buku berjalan mulai bercerita. Kita enggak usah buka buku, Mar. Kayak waktu kita jalan-jalan di Kairo. Udah ada pemandu gratis." Balqis tertawa sembari berjalan melewati rumput yang dikelilingi rimbun bunga dan di tengahnya terdapat bendera merah putih yang berkibar-kibar diterpa angin.

Kurang lebih rumahnya seperti rumah-rumah lawas di Kota Tua. Dindingnya polos bercat putih dan kuning. Pintu dan jendelanya berdaun ganda dengan garis-garis horizontal untuk jalan masuknya udara.

"Guys, jadi ini buku-buku koleksinya Bung Karno, ini meja kerjanya. Dan ini ruang pakaiannya." Balqis bergaya seperti vlogger. Sedangkan Dastan masih konsisten menjalankan perannya sebagai pemandu wisata gratis.

"Ranjang besinya mirip di rumah Mbah. Tapi sprei putih polos gini jadi  keinget sama film horor," komentarku daat kami memasuki kamar Bung Karno.

"Halah, dia ini keracunan film horor. Pasti gara-gara abang kamu, kan?" cibir Balqis.

Cut It Out (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang