"Wah, tim tenggo udah stand by aja," sindir Lingga. Kepalanya melongok dari pintu kaca musala. Pasti dia melihat ke arah pemindai sidik jari di ujung koridor.
"Pasti Naura sama Mbak Lusi ya?" Aku terkikik.
"Siapa lagi." Lingga mengemasi kameranya.
Lalu Naura berjalan melewati musala dengan gaya berjalannya yang khas. Kata Salman mirip abang-abang penjual cilok yang sering mangkal di ruko paling ujung. Di belakangnya ada Mbak Lusi yang bawaannya sudah mengalahi penjual yang setiap pagi turun di Stasiun Kemayoran.
"Makanya jangan kerajinan! Enggak bakal ngaruh sama gaji! Kalau mau jadi orang rajin, mending lembur di depan kantornya Pak Roma di lantai tiga. Atau foto selfie pakai caption lembur terus tag Pak Roma. Biar enggak sia-sia," saran Naura.
Aku hanya geleng-geleng kepala. Suaranya Naura itu lho, aduh! Apalagi kalau sudah bergosip dengan Mbak Lusi. Kantor isi dua orang, serasa seratus orang.
"Rumah deket dari kantor, tapi pulang paling cepet. Makan gaji buta lo, Nau," cibir Lingga. "Untung Bu Raya baik. Kalau anak-anaknya Bu Beatrice, beuh, sampai magriban juga masih setia—"
Suara dehaman Naura menghentikan ocehan Lingga. Ternyata ... Bu Beatrice dan Bu Raya baru turun dari tangga!
Sewaktu kedua bos itu sudah keluar dari lobi kantor, Naura langsung berkata, "Mampus lo!" kepada Lingga tanpa suara.
"Ada roman-roman yang mau dipotong gaji nih. Padahal uang cicilan gedung buat resepsi belum lunas." Mbak Lusi terkikik.
Lingga berdecak.
"Mar, mau bareng enggak ke stasiun?" Mbak Lusi menengok ke arahku.
"Udah biar gue yang antar Marissa. Ke Stasiun Manggarai atau Pondok Jati?" sela Lingga.
"Enggak ah, mending Marissa naik bajaj sama gue. Nanti gue enggak ada temannya," tolak Mbak Lusi. "Padahal udah bertahun-tahun kita partneran, tapi lo jarang nawarin gue tumpangan, Ngga."
"Bedalah, Mbak. Lingga ngincarnya yang masih muda." Fatih segera berjalan mendahului kami sambil tertawa. Meskipun dia harus berjalan tertatih-tatih. Hampir saja Mbak Lusi menarik rambut kriwilnya.
"Ya elah, Mbak. Kan udah sering gue tumpangin. Sampai ban belakang gue rada kempes nahan beban, gue rela—" Mbak Lusi memukul lengan Lingga dengan salah satu tasnya. Lalu dia sibuk mengambil bawaannya yang berjatuhan. Memang se-rempong itu Mbak Lusi. Maklumlah, dia memang emak-emak, tapi dia single fighter.
"Ikut nebeng sama motornya Naura gih." Lingga mengisyaratkan dengan matanya ke arah Naura yang sedang mendekati motornya. Terlihat dari pintu kaca lobi kantor. "Gue mau ke Rumah Al-Barakah. Sekalian lewat Stasiun Manggarai."
Rumah Al-Barakah itu gudangnya kantor ini. Katanya sih lokasinya enggak jauh dari Stasiun Manggarai, tapi aku juga enggak begitu tahu daerah sini. Lingga sudah biasa tidur di sana pada hari kerja, karena dia malas pulang ke rumahnya di Bekasi.
"Aku bareng Mbak Lusi aja deh. Biar Mbak Lusi ada temannya." Aku segera menarik Mbak Lusi menjauh.
Bisa-bisa kami digosipkan yang enggak-enggak. Namun ternyata kami beruntung, karena kami dapat tumpangan. Saat kami melewati Bank Al-Barakah, Mbak Lusi yang kenal dengan atasan di sana berusaha menyapa mereka dan berakhir kami ditawari tumpangan. Enaknya dekat dengan Mbak Lusi, aku merasa dia seperti ibuku.
Lelah juga tiap hari kerja menggunakan kereta. Saat pergi ke kantor, biasanya aku menggunakan rute ke Jatinegara dan turun di Stasiun Pondok Jati. Soalnya lebih dekat ke kantor, bisa naik angkot atau jalan kaki. Pulangnya aku biasa naik bajaj dengan Mbak Lusi ke Stasiun Manggarai, atau jika beruntung kami tak perlu mengeluarkan uang seperti tadi. Aku dan Mbak Lusi berpisah di dalam stasiun, karena dia berjalan ke jalur jurusan Bogor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut It Out (Proses Terbit)
ChickLitMarissa merasa kehidupannya tidak pernah berjalan mulus. Dimulai ketika dia menanyakan nasib karirnya kepada HRD, dan dia malah diceramahi soal keikhlasan dalam bekerja. Diremehkan oleh dosen metodologi penelitian hanya karena dia lulusan timur teng...