25. Sikap Manisnya

416 45 15
                                    

Aku enggak merasa lelah, karena mungkin rumahku dekat ke Bandara Soekarno-Hatta dan ternyata rumah Balqis pun dekat sekali dari Bandara Fatmawati. Ada perasaan gembira, karena akhirnya aku bisa jalan-jalan. Rasanya udara Bengkulu lebih segar ketimbang Jakarta.

Sepertinya jika aku tinggal di sini, aku enggak malas keluar rumah. Padahal aku tipe orang yang suka jalan-jalan, tapi semenjak tinggal di Jakarta, rasanya aku enggan menghadapi kemacetan. Sudah sehari-hari aku harus berdesakan di KRL, pemandangan lautan manusia dan kendaraan penuh polusi. Masa aku harus mengalaminya lagi di saat liburan? Dan aku enggak melihat kepadatan itu di Kota Bengkulu. Ramai, tapi enggak sesesak Jakarta.

Sesampai kami di rumah, kami disambut oleh beberapa tante Balqis dan Dastan. Mungkin aku lupa memberi informasi ya, kalau ibunya Balqis itu adik-kakak dengan bapaknya Dastan.

Aku suka dengan rumah Balqis. Luas dan kebun di halamannya sangat terawat dengan berbagai macam tanaman hias. Suasana sekitar rumah juga asri dan tenang.

"Rumah kamu dekat sini, Das?" Aku bertanya kepadanya tanpa memandangnya.

"Rumahku masih jauh," jawabnya.

"Rumahnya dia itu di Mukomuko. Rumah kakek-nenek kita juga di sana, tapi udah enggak ada semua. Makanya perkebunan sawit punya keluarga dikelola sama keluarga Dastan. Soalnya Ibu dan Ayah harus ngajar di sini," terang Balqis.

Aku manggut-manggut. Aku tahu kalau orangtua Balqis itu dosen PNS di salah satu universitas Islam di Kota Bengkulu.

"Berarti kamu nanti bakal pulang ke rumah?" Ah, aku benar-benar menyesal menanyakan ini. Kelihatan banget dong kalau aku enggak mau dia pergi? What? Apa benar aku enggak mau dia pergi?

"Habis acara nikahan mungkin. Soalnya Bapak dan Ibu juga bakal ke sini. Tenang, aku bakal nemenin kalian jalan-jalan dulu." Dastan menaikkan kedua alisnya.

"Kalian?" cibir Balqis. "Marissa doang kali." Meski suara dia kecil, tapi aku dengar lho!

"Ini temannya Balqis?" tanya salah satu tantenya.

"Saya Marissa." Aku menyalami mereka satu-persatu.

"Oh, ini Marissa yang teman dekatnya Balqis ya? Balqis pernah cerita. Ternyata cantik. Marissa juga yang katanya ditaksir sama—" Aku melihat Balqis mencubit tantenya yang terlihat masih sangat muda. Lalu mereka bertengkar, karena tantenya merasa apa yang dikatakannya bukanlah hal yang salah. Sepertinya itu yang mereka bicarakan, karena aku enggak paham bahasa Bengkulu.

"Pada istirahat aja dulu. Orangtuanya Balqis masih ngajar semua. Nanti sore kita mau ke Pantai Panjang," ujar tantenya.

"Qis, bener kamarnya cukup? Kalau enggak cukup, aku bisa pesan penginapan," ujarku sambil membawa koper menuju tangga.

"Santai. Di sini banyak kamar, karena adek-adeknya Ibu sering main ke sini. Kayak tanteku yang di Bekasi, kalau liburan suka ke sini. Dia paling ke sini waktu hari-H nikahan."

"Sini, kopernya," sela Dastan. Dengan tangkasnya, dia mengangkat koper milikku dan Balqis secara bergantian.

Di lantai dua terdapat tiga kamar saling berdekatan. Lalu ada kamar mandi yang diapit. Selain kamar, ada ruang teve juga. Aku suka dengan pilihan ibunya Balqis dalam hal perabotan rumah yang didominasi dari kayu. Banyak jendela panjang dan rumah dicat berwarna putih, jadi rumah serasa lapang dan terang. Berbeda dengan rumahku yang minim jendela, karena adanya AC.

"Kita pake kamar yang besar. Di dalamnya ada kamar mandi. Sementara aku tidur sama kamu. Tapi nanti kalau udah akad, aku tidur di kamar bawah sama ... hehe." Balqis menyengir lebar.

"Sombong banget yang mau nikah. Tutup kupingnya, Mar," sahut Dastan sembari masuk ke dalam kamar di seberang kami.

Aku hanya menelan ludah. Dastan tidur di kamar yang berjarak hanya lima langkah. Sedari di bandara, aku merasa enggak nyaman dengan keberadaannya. Maksudnya, aku enggak bisa mengobrol dan bercanda seperti biasanya. Jantungku sudah seperti pertunjukan marawis. Gimana bisa aku merasa nyaman?!

Cut It Out (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang