Rasanya telingaku seperti disodorkan pengeras suara. Salman baru saja datang, dia sudah memutar lagu keras-keras dari komputernya.
"Man, bisa kecilin suaranya enggak?" pintaku.
"Mumpung Pak Roma dan bos-bos kita lagi rapat ke pusat, cuy!" balasnya.
Arrgghh, kenapa selera lagunya Salman kayak mamang-mamang kontrakan sih?!
"Kalau Pak Roma ada, lo bisa diharam-haramin, Man. Kata Pak Roma kan musik haram," timpal Mbak Lusi.
"Lo udah mencemari kupingnya Marissa pake dangdut koplo. Hafalan Qur'annya bisa ambyar, malih!" sembur Naura.
"Perasaan Marissa bukan penganut mazhab musik haram. Gue lihat dia juga sering dengerin lagu dari YouTube di komputernya," bantah Salman.
"Marissa itu dengerinnya Maher Zain! Bukan lagu sopir angkot kayak lo!" Naura berdecak kesal.
Fatih hanya tertawa-tawa mendengar ocehan mereka. Menurutnya, kami beruntung bisa berdekatan dengan Divisi Beasiswa dan Kemanusiaan, karena mereka sudah seperti Opera Van Java.
Sedari tadi aku tidak melihat Lingga datang dari arah tangga. Berarti Salman enggak bersama Lingga. Lagi pula mana mungkin jam segini sudah bisa balik dari Bogor.
"Salman, tadi kamu habis dari mana? Mana laporan fotonya?" Aku mendatangi kubikelnya.
"Eh, iya. Tadi gue habis ngasih bantuan ke masjid masih di sekitar Matraman sini. Deket sih. Gue kirim lewat chat aja ya. Kalau yang di Bogor, nanti minta aja sama Lingga. Dia ke sana sama Pak Nurdin," jawabnya. "Enggak usah pake disamperin lagi. Eh, apa lo sebenarnya mau nanyain Lingga di mana?" Cengiran tengilnya mulai meresahkan.
"Ih, orang aku tahu Lingga ke Bogor!"
"Ya, kali aja lo nyangka kalau dia pergi bareng gue." Ih, dia kok bisa tahu sih?!
"Gue ingetin lo ya. Si Lingga itu udah mulai nyari-nyari vendor buat nikahannya. Jadi mending jangan kemakan rayuannya deh." Salman melirikku.
"Apaan sih? Kenapa jadi nyambungnya ke situ? Aku nyamperin kamu supaya kamu kecilin suara dangdutnya." Aku menggeram kesal.
"Udah, mending join kita aja. Gue mau lihat gosipnya selebgram Alika. Katanya dia habis bikin video nangis-nangis lebay pasca diputusin pacarnya. Mumpung bos enggak ada." Mbak Lusi melambaikan tangan sambil memamerkan koleksi camilannya.
"Lo tuh, Mbak, jangan ngerusak otaknya Marissa deh. Dia tuh lulusan Azhar! Calon ulama! Lo bukannya harus ngasih laporan dari Aceh?" tegur Naura.
Aku tertawa sambil mengambil camilannya Mbak Lusi. Aku hanya tertarik dengan camilannya, bukan gosipnya. Kini Naura sedang ingin menutup kolom YouTube yang ingin diputar oleh Mbak Lusi.
Oh iya, Mbak Lusi itu penanggung jawab beasiswa di Aceh. Baitulmaal Al-Barakah mempunyai sekolah dan asrama di sana sejak lama. Mungkin sejak pasca tragedi tsunami. Kalau Naura, dia yang bertanggung jawab peserta beasiswa di Jakarta dan sekitarnya.
"Lho jadinya pacarnya Alika itu jadian sama temennya sendiri? Berarti selingkuh dong?" seru Naura.
Ternyata iman Naura enggak sekuat yang kukira, ckck.
***
Rasanya pas banget, cuaca panas, es doger akan terasa mantap. Tadi Naura dan Mbak Lusi menitip juga.
"Kenapa enggak nyuruh Pak Ruli aja?" saran Mbak Lusi.
Aku hanya mengedikkan bahu. Gajiku enggak seberapa, masa aku harus menyuruh-nyuruh OB? Kan enggak enak kalau aku menyuruh Pak Ruli, tapi aku enggak memberikan tips. Lagi pula Mbak Lusi akan berbagi lauk yang dibawanya. Jadi aku bisa membalasnya dengan membelikan es doger.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut It Out (Proses Terbit)
ChickLitMarissa merasa kehidupannya tidak pernah berjalan mulus. Dimulai ketika dia menanyakan nasib karirnya kepada HRD, dan dia malah diceramahi soal keikhlasan dalam bekerja. Diremehkan oleh dosen metodologi penelitian hanya karena dia lulusan timur teng...