Baru saja dua hari yang lalu aku tertampar oleh perkataan Dastan, sekarang aku mendapatkan orang yang lebih menderita lagi. Ada salah satu akun yang mengirim pesan melalui Facebook untuk meminta modal untuk usaha.
Akun tersebut mengirimkan foto-foto yang memerlihatkan aktivitas seorang pria lumpuh kedua kakinya sedang membuat lukisan kaligrafi. Saat aku melihat keadaan rumahnya, miris sekali. Rumah gubuk yang sudah mendapatkan beberapa tambalan.
Aku segera menghampiri meja Pak Nurdin. Untuk masalah donasi, aku harus mendapatkan persetujuan darinya. Jika berkaitan dengan pendidikan akan diteruskan kepada Naura atau Mbak Lusi, sedangkan untuk bantuan donasi atau modal usaha diteruskan kepada Lingga dan Salman.
Namun ternyata Pak Nurdin sedang keluar bersama Lingga dan Salman untuk membantu korban banjir. Akhir-akhir ini hampir setiap sore Jakarta diguyur hujan.
Makanya sewaktu aku, Balqis, dan Dastan di Kota Tua kami sempat kehujanan. Lalu Dastan mengantarkan Balqis ke rumah saudara mereka di Bekasi. Jadi pernikahan Balqis akan diselenggarakan di Bengkulu dan Bekasi. Sebuah kebetulan hebat, karena Kak Rafasya adalah orang Bekasi. Atau mungkin Kak Rafasya sengaja meminang Balqis, karena tahu tantenya Balqis tinggal di Bekasi?
"Kenapa, Mar?" tanya Fatih.
"Ini ada yang minta modal usaha." Aku memerlihatkan pesan tersebut.
"Kasihan banget. Tapi bukannya kalau mau mengajukan modal usaha harus ngajuin ke cabang Bank Al-Barakah terdekat?"
"Aku udah jawab gitu, Tih. Nih, jawabannya. Rumahnya ada di daerah gunung, di Subang. Jauh dari kota. Apalagi dia lumpuh, Tih." Aku tiba-tiba sadar dan melirik Fatih. Lalu aku menghela napas lega, karena sepertinya dia enggak tersinggung.
Soalnya Fatih itu ... dia memakai kaki palsu pada kaki kirinya. Aku menyadarinya saat salat berjamaah di musala. Saat itu aku berada di saf paling depan bagian wanita. Aku melihat Fatih tertatih-tatih menuju saf paling belakang. Dia melepaskan kaki palsunya. Hebatnya, dia melaksanakan salat dengan posisi berdiri. Kaki kanannya menopang tubuhnya dan celana panjang di bagian kaki kirinya terlihat kosong setengahnya.
Jadi ketika aku malas salat duha atau lalai salat tepat waktu akibat diajak bergosip dengan duo gossipers itu, aku teringat sosok Fatih. Seakan aku enggak bersyukur. Dan pemandangan Fatih yang rajin salat wajib berjamaah di musala dan enggak pernah melewatkan salat sunah, aku merasa ditampar bolak-balik.
"Berarti mau enggak mau harus nunggu Pak Nurdin. Eh, orang dari Digital Marketing udah datang katanya. Ayo, ke bawah," ajak Fatih.
Dari pengeras suara yang berada di sudut ruangan terdengar panggilan untuk semua staf. Pengeras suara itu biasanya untuk panggilan azan ketika salat zuhur dan asar.
"Ya Allah, awas jatoh nanti! Jalan, tapi lihatnya pada ke HP," tegurku kala melihat duo gossipers berjalan dengan menundukkan kepala.
Lalu aku melihat ke layar ponsel mereka. "Pada kena virus Candy Crush dari Fatih nih." Sengaja aku mengencangkan suaraku sehingga Fatih yang mendengarnya pun tergelak.
"Tapi itu obatnya manjur, kan? Daripada mereka ngegosip." Fatih terkekeh.
"Heh, lo enggak gue bagi makanan ya. Sana, jauh-jauh!" Mbak Lusi mengibaskan tangannya.
"Lo tuh jangan musuhin orang yang punya pabrik makanan," timpal Naura yang pandangannya masih fokus kepada layar ponselnya.
Mbak Lusi menepuk tas kain yang bertengger di pundak sebelah kanan. Aku bisa mendengar suara plastik makanan yang bergesekan. Tadinya Naura mengajakku untuk duduk di pojokan ruang rapat bersama Mbak Lusi. Aku tebak mereka akan bermain Candy Crush sambil melahap camilan dan enggak peduli dengan pelatihan yang akan dimulai sebentar lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut It Out (Proses Terbit)
Chick-LitMarissa merasa kehidupannya tidak pernah berjalan mulus. Dimulai ketika dia menanyakan nasib karirnya kepada HRD, dan dia malah diceramahi soal keikhlasan dalam bekerja. Diremehkan oleh dosen metodologi penelitian hanya karena dia lulusan timur teng...