23. Kejujuran yang Sulit

349 42 11
                                    

Tanganku bergetar menahan amarah. Apalagi setelah aku mendapatkan jawaban dari Lingga. Usai Fatih mengirim berita soal briefing, aku segera bertanya kepada Lingga. Tentu saja lewat pesan. Aku enggak ingin mempertaruhkan harga diriku lagi yang kini sudah hampir habis, karena tercabik-cabik.

Lingga: Sori, Mar. Ini semua salahku. Waktu kemarin HP-ku mati. Aku enggak tahu kalau Bu Beatrice nelepon. Sebenarnya aku udah bilang ke Bu Raya dan katanya mobil kantor enggak bakal dipakai. Ternyata Bu Beatrice nelepon Naura. Terus Naura bilang kalau ada kemungkinan aku nganter kamu dulu. Ditambah Naura bilang, "Biasanya Lingga gitu, Bu." Aku juga dapet info dari Salman yang ada di kantor waktu itu. Zaskia ngomporin ke Bu Beatrice, katanya aku pernah nganter kamu sampe rumah pake mobil kantor sewaktu pulang dari rumah Pak Bilal.

Emosiku langsung memuncak. Sampai-sampai layar ponselku berbunyi, karena aku mengetikkan balasan dengan penuh kekuatan.

Marissa: Lho, bukannya kamu nganter semua orang waktu itu? Bukan aku aja!

Lingga: Iya, Mar. Tapi Fatih rumahnya di Bekasi juga, deket sama Pak Bilal. Zaskia kontrakannya di sekitar Matraman, dekat kantor. Aturan dari kantor, mobil hanya untuk keperluan pekerjaan. Jadi seharusnya kamu diturunkan di kantor. Kalau sekalian ngelewatin, mungkin enggak masalah. Masalahnya rumah kamu di Jakarta Barat. Mungkin seandainya Zaskia enggak ngasih tahu info itu dan Naura enggak bocor mulutnya, kasus kemarin enggak ada masalah. Ditambah Topan ngomporin kalau aku juga nganter kamu pulang ke rumah waktu sakit. Tapi aku udah klarifikasi ke Bu Beatrice kalau aku nganter kamu waktu sakit itu pake motor sendiri.

Marissa: Ini yang aku khawatirin, Ngga. Aku kan selalu nolak, tapi kamu yang maksa. Kamu selalu bilang, "Iya, Mar, aku ngerti," waktu aku jelasin soal aku yang enggak mau jalan berduaan sama kamu. Tapi nyatanya kamu selalu maksa aku! Aku malu, Ngga!

Lingga: Iya, Mar, aku benar-benar minta maaf. Waktu kamu sakit, aku mana tega ngebiarin kamu pulang naik kereta dalam keadaan begitu. Aku yang salah. Seharusnya dari rumah Pak Bilal, aku kembaliin mobil kantor dan kamu aku antar pake motor.

Marissa: Bukan, Ngga! Salahnya itu adalah kamu udah tunangan sama Kirana, tapi terang-terangan ngajak aku jalan! Itu yang salah!

***

Saat istirahat, aku enggak mendatangi kubikel Naura. Bahkan aku enggak turun ke musala bawah untuk salat zuhur berjamaah. Aku mengambil wudu di toilet lantai empat dan salat di samping mesin fotokopi yang terletak di belakang kubikelku.

Aku hanya khawatir akan menimpuk Topan dengan sepatu saat melewatinya. Atau melihat Zaskia dan Shareen. Apalagi aku sempat melihat story Instagram milik Shareen. Ternyata orang yang mempunyai latar belakang pendidikan bagus, dan paham agama, bukan lantas menjadikannya malaikat.

Ketika aku membacanya, aku hanya bisa menarik ujung bibirnya. Aku memang bukan malaikat, tapi manusia. Tiba-tiba terlintas ingatan masa kecil. Saat SD aku pernah pulang sekolah menggunakan angkot. Tanpa sepengetahuanku, Mama ingin mengajakku makan di luar dan sudah izin ke guru ngajiku untuk enggak hadir hari itu. Namun saat di sekolah, Mama enggak menemukanku di mobil jemputan. Lalu aku pulang ke rumah, dan bodohnya aku dengan santai berbohong bahwa aku baru saja pulang dari tempat mengaji. Aku enggak tahu saat itu Mama pulang kantor lebih awal. Parahnya, Mama sempat menelepon guru ngajiku untuk menanyakan keberadaanku. Tentu saja aku enggak ada, karena aku sedang di rumah temanku.

Setelah aku dimarahi habis-habisan, Abang menghampiriku yang menangis. Aku masih ingat kata-katanya. "Kenapa kamu enggak jujur aja, Dek? Kita itu manusia, pasti pernah melakukan kesalahan. Jangan pernah merasa malu buat ngakuin kesalahan. Kita bukan malaikat, Dek."

Cut It Out (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang