"Coba lihat yang namanya Dastan." Lingga mengulurkan tangannya di hadapanku.
Aku menutup aplikasi chat, dan memerlihatkan akun Facebook milik Dastan.
"Biasa aja perasaan," cibir Lingga.
"Yeee! Ganteng tahu! Itu karena dia enggak ngurus diri aja. Tapi kelihatan dari wajahnya. Lesung pipinya itu, sama dagunya belah, alisnya tebel. Manis banget," puji Mbak Lusi.
"Emak-emak ganjen. Inget anak di rumah. Anak udah SMP juga, masih sok ABG," sindir Salman.
Aku menutup telinga dari teriakan mereka berdua. Aku lupa kasih info kalau divisi mereka itu paling berisik. Cuma Lingga yang suaranya normal. Eh, enggak juga sih. Kalau dia sudah tertawa dengan Salman, sebelas-dua belas dengan kaleng rombeng. Mereka berdua itu ibarat SpongeBob dan Patrick.
"Ini emang foto waktu Dastan tingkat tiga. Dia jarang aktif di sosial media. Instagram aja enggak tahu punya apa enggak," ungkapku.
"Gue suka tuh sama cowok yang enggak alay pamer di sosmed. Kayak Nicholas Saputra. Misterius dan ganteng. Ah, gue mau nonton dia yang jadi bintang video klip." Mbak Lusi beranjak menuju kubikelnya.
"Salman juga misterius, Mbak. Jarang update di sosmed. Cuma dia enggak ganteng aja." Lingga tergelak.
Aku dan Naura segera menggulung karpet dan membereskan bekas makan kami sebelum perang ini berlarut-larut. Karpet ini punya Mbak Lusi. Sudah kubilang kalau dia itu paket lengkap. Bahkan dia menyimpan bantal juga. Aku juga jadi mengikutinya dengan membawa bantal leher, karena lumayan lelah bekerja seharian di depan komputer.
Saat aku mendatangi kubikel, Fatih baru datang dari makan siang. Dia berterimakasih atas es dogernya.
"Oh iya, revisi layout untuk majalah udah final ya. Tadi sebelum Pak Harun pergi meeting, aku udah mastiin lagi," kata Fatih.
"Eh, kita kan belum minta pendapat Pak Roma. Nanti ada revisi lagi. Arrgghh!"
"Kata Pak Harun, Pak Roma biasanya komentar soal isi. Good luck ya." Fatih mengacungkan jempol.
Harusnya sih enggak ada yang perlu direvisi. Soalnya setiap tulisan yang ditampilkan di majalah, pernah diunggah di website. Sebelum aku mengunggahnya di website, tulisan harus melewati KaDiv dan Direktur Eksekutif. Tapi kan suka gitu bos di sini, kemarin bilang apa, sekarang bilang begini.
"Pak Roma udah dateng kayaknya. Cuma lagi meeting lagi di kantornya bareng tiga KaDiv. Kalau mau kasih majalahnya, kasih aja. Biar cepet revisiannya. Sini deh, aku bantu upload di sosmed. Cuma upload aja ya sama tulisin kata-katanya," tawar Fatih.
Ah, dia baik banget sih. Aku benar-benar beruntung mempunyai partner seperti Fatih. Enggak banyak ngomong, tapi lebih banyak kerja. Tapi dia enggak serius-serius banget sih. Terkadang ikut bercanda dengan Mbak Lusi, meskipun kata Mbak Lusi humor Fatih itu krik-krik.
Aku mengirim foto-foto dari Salman dan Lingga kepada Fatih. "Ini tulisan untuk di Instagram dan yang ini di twitter. Udah sekalian hashtag-nya juga."
Setelah itu aku mengambil print draft majalah dan segera turun ke bawah. Saat aku membuka pintu kaca ruangan Pak Roma di lantai tiga, ternyata di dalam ada Bang Hamid juga.
"Nah, kebetulan ada Siti. Coba duduk di sana," tunjuk Pak Roma kepada kursi di samping Bu Raya.
"Jadi kita akan kedatangan tamu dari Palestina. Dia akan presentasi di kantor kita. Rencananya Baitulmaal Al-Barakah akan memberikan dana bantuan kepada mereka. Hanya saja kita butuh pendamping tamu tersebut. Apalagi tamunya akan memberikan presentasi dalam Bahasa Arab. Jadi kamu, Siti, dan Hamid yang akan mendampingi tamu tersebut. Bu Beatrice juga akan hadir di sana," terang Pak Roma.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut It Out (Proses Terbit)
ChickLitMarissa merasa kehidupannya tidak pernah berjalan mulus. Dimulai ketika dia menanyakan nasib karirnya kepada HRD, dan dia malah diceramahi soal keikhlasan dalam bekerja. Diremehkan oleh dosen metodologi penelitian hanya karena dia lulusan timur teng...