"Kenapa, Mar?" Suara Dastan pelan sekali, seperti sedang berbisik.
"Ini aku lagi mau ke Universitas Kebangsaan. Aku mau minta tolong nih. Untuk urusan kantor."
"Aku masih ada kelas. Masalah apa?"
"Panjang ceritanya. Aku mau ke Fakultas Psikologi, tapi kalau kamu masih ada kelas, enggak apa-apa. Maaf ganggu ya." Setelah memberi salam, aku mengakhiri percakapan.
Setelah aku mengabari berita tersebut, Mbak Lusi mendesah kecewa. Namun mobil sudah terlanjur memasuki gerbang besar bertuliskan Universitas Kebangsaan.
Dulu aku sempat berkeinginan masuk ke kampus ini mengambil jurusan Kajian Timur Tengah. Namun Mama bilang terlalu jauh. Kalau aku nge-kost, Mama sudah kehilangan diriku selama empat tahun aku tinggal di Mesir.
Bayangan kuliah di kampus besar yang jalanannya dipenuhi pepohonan rindang, danau besar yang dikelilingi taman berumput, perpustakaan yang lengkap, dan tentunya jas berwarna merah yang membuat pemakainya bangga, kandas begitu saja.
Baru saja mobil memasuki pelataran gedung Fakultas Psikologi, pesan dari Dastan masuk.
Dastan: Aku baru selesai kelas. Kalau mau, tunggu aja di sana.
Aku memerlihatkan pesan tersebut kepada Mbak Lusi. Dia terlonjak girang seraya menepuk punggung Naura. "Nicholas Saputra lo bakal datang!"
Katanya mirip Gamaliel Tapiheru, gimana sih? Aku hanya bisa geleng-geleng kepala dan masuk kepada minimarket di depan gedung fakultas. Usai membeli minuman dan camilan, kami bertiga masuk kembali ke dalam mobil. Ketika aku memeriksa ponsel ternyata Dastan sudah sampai.
Seorang pria tinggi memakai kemeja kotak-kotak menghampiriku saat aku membuka pintu mobil. Dia benaran Dastan?
Oke, dia benar-benar berubah. Rambutnya sudah enggak gondrong lagi. Kumisnya hilang dan janggutnya tercukur rapi. Lalu aku membuka ponselku untuk melihat Gamaliel Tapiheru. Ya Allah, mereka mirip!
Apalagi Dastan enggak memakai celana bahan yang pudar, tapi celana jeans yang warna biru tuanya terlihat baru. Sepatu sneakers yang bersih. Ransel yang ... lagi-lagi bukan yang warnanya usang. Benar kata orang-orang, mahasiswa Indonesia ketika pulang ke tanah air, dia akan memangkas rambutnya dengan rapi. Ada yang bilang, pulang ke tanah air artinya kamu menjadi buruan sebagai menantu idaman. Thank's to novel Ketika Cinta Bertasbih yang membuat mahasiswa lulusan Al-Azhar menjadi berkilauan.
"Kok ngelihatnya begitu?" Suara Dastan menyadarkanku, lebih tepatnya aku baru saja meneliti setiap jengkal tubuhnya. Ya Allah, Marissa!
"Udah disamperin jauh-jauh, malah bengong. Terus makan es krim enggak bagi-bagi lagi." Dia mendengkus.
Astagfirullah! Aku lupa membelikannya minuman. "Ya udah, tunggu bentar, aku beliin!"
Namun saat aku ingin ke minimarket, Mbak Lusi keluar dari mobil seraya memanggilku.
"Pak Firman minta cepetan. Ada urusan sama Bu Beatrice soalnya," katanya. "Ini temannya Marissa yang namanya Dastan ya?"
Eh, malah Mbak Lusi yang agresif. Dia yang sok menjelaskan tentang Qisya. Bahkan aku enggak diberikan kesempatan untuk mengucapkan sepatah kata. Aduh, pokoknya setelah ini aku harus ke minimarket untuk membeli minuman!
"Tapi saya enggak bisa janji. Soalnya pihak kampus biasanya enggak bakal mau membocorkan identitas mahasiswanya," ujar Dastan.
Apa yang Dastan ucapkan memang tercetus pada benakku dan aku sampaikan juga ke Mbak Lusi. Namun Mbak Lusi tetap bersikeras. Kan ketahuan banget kalau kita dengan sengaja mempertemukan Naura dan Dastan. Ini semua hanyalah tameng untuk menutupi aksi mak comblang. Eh, tapi Naura ke mana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cut It Out (Proses Terbit)
ChickLitMarissa merasa kehidupannya tidak pernah berjalan mulus. Dimulai ketika dia menanyakan nasib karirnya kepada HRD, dan dia malah diceramahi soal keikhlasan dalam bekerja. Diremehkan oleh dosen metodologi penelitian hanya karena dia lulusan timur teng...