28. Bertemu Kembali

444 50 11
                                    

Sampai kepulanganku ke Jakarta, aku enggak bertemu dengan Dastan. Balqis dan keluarganya segera berangkat ke Mukomuko keesokan harinya. Tentunya setelah dia mengantarku ke bandara. Aku enggak bisa ikut, karena Pak Yusuf sudah menghubungiku.

Fatih resign dari kantor lebih cepat dari dugaan. Statusnya yang masih menjadi karyawan magang memudahkannya cabut begitu saja dari kantor. Sebenarnya dia pernah ditawari kontrak baru oleh kantor kami, tapi dia menolaknya. Ternyata setelah dia mengaku dapat tawaran dari perusahaan lain, aku baru tahu alasannya.

Selama kembali ke kantor, aku sangat sibuk. Aku harus mengerjakan dua pekerjaan sekaligus. Ya, aku enggak boleh mengeluh sih, karena selama aku kabur dari kantor, Fatih yang mengerjakan semuanya.

Kebetulan aku bisa memakai aplikasi Photoshop. Dulu aku sering membuat kalender untuk hadiah teman-temanku di saat keuanganku menipis, karena uang kiriman telat datang dan beasiswa enggak kunjung turun.

Foto-foto yang dikirim oleh Lingga dan Salman lewat chat segera kueedit. Untungnya Fatih pernah mengajariku cara menaruh logo dan font tulisan supaya seragam dengan unggahan lainnya.

Aku hanya fokus bekerja dan mengabaikan basa-basi dengan sekitarku. Bahkan Lingga yang mengajakku bicara, langsung kupotong begitu saja.

"Oh iya, Ngga. Jangan lupa foto bantuan pembangunan sarana sanitasi di pesantren, di Serang, segera dikirim. Laporannya juga, supaya beritanya bisa cepat naik di website."

Lingga hanya mengangguk bak robot. Mungkin dia enggak menyangka aku bisa sedingin ini. Aku menjadi orang yang gila kerja. Sampai saat istirahat, aku makan sambil mengerjakan tugas di depan komputer.

Hari-hariku berjalan dengan monoton. Berangkat kerja, lalu pulang dan tertidur dengan pulas. Jumat dan Sabtu, seperti biasa aku pergi ke kuliah. Mata kuliah Metodologi Penelitian bukan lagi dipegang oleh Pak Thariq. Melainkan dengan Bu Arini, yang juga wakil rektor kampus ini.

Aku mendapatkan komentar yang sama. Ya, diremehkan hanya karena aku lulusan Timur Tengah yang enggak pernah menulis skripsi. Namun Bu Arini membimbing mahasiswanya lebih baik dari Pak Thariq yang hanya bisa berkomentar pedas. Kami secara bergilir diberikan konsultasi bersama Bu Arini secara privat di kantornya di luar jam kuliah. Seperti di sore hari, usai perkuliahan.

"Sebenarnya saya mau menulis tentang kantor, Bu. Jadi semenjak Direktur Eksekutif yang baru, banyak pemberdayaan wakaf yang terbengkalai. Awalnya kami mempunyai wakaf yang menyokong ekonomi masyarakat di salah satu daerah Jawa Barat. Ibu-ibu di daerah itu menanam jamur untuk dijual kembali. Selain itu, kami juga menyokong para pedagang kaki lima untuk membelikan gerobak baru dengan dana zakat. Namun Direktur Eksekutif lebih menyukai ide untuk membangun sekolah tahfizh. Menurutnya pemberdayaan ekonomi seperti menanam jamur bukan hal yang bagus. Jadi pemberdayaan wakaf yang sebelumnya terbengkalai. Terus menurutnya lagi, dana zakat dan wakaf harusnya disalurkan kepada kegiatan yang bernilai ibadah saja. Sampai Divisi Ekonomi dan Pemberdayaan bubar, Bu," jelasku.

"Sebenarnya direktur kamu enggak salah mendirikan sekolah tahfizh, tapi tidak lantas menelantarkan wakaf yang sudah berjalan. Apalagi untuk zakat, mustahiknya ada delapan. Tidak adil jika disalurkan kepada satu golongan aja. Justru zakat dan wakaf itu untuk pemberdayaan ekonomi. Lihat contohnya Umar bin Khatab yang mendirikan sumur air. Apakah Nabi Muhammad dan para sahabat hanya berfokus mendirikan masjid saja? Tidak, kan? Tapi ini bagus untuk penelitian. Bisa kamu kritisi bagian-bagian tadi. Mumpung kamu sebagai orang dalam. Kamu bisa mendapatkan informasinya secara mudah." Lalu Bu Arini menjelaskan kesalahan dari pendahuluan proposal tesis yang kuserahkan.

Sepertinya ada alasan lain aku harus tetap bertahan di kantor. Tadinya usai Dastan mengungkapkan perasaannya sekaligus rencananya pada malam itu, aku sudah membayangkan akan resign dari kantor. Lalu kami akan menikah. Bahagia selamanya.

Cut It Out (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang