2. Lamaran tertolak

846 98 10
                                    

Hinata memarkirkan motornya tepat di depan kediaman Hyuuga. Rumahnya tidak besar dan juga tidak kecil. Pekarangan di luar banyak di hiasi kebun kecil cantik seperti cabe rawit, tomat, bawang daun dan tanaman rempah yang memang bisa di tanami tanpa lahan yang luas.

Sedangkan di halaman belakang, sama tidak indahnya. Beberapa pohon besar yang ada. Meski itu pohon buah-buahan, tetap saja impian Hinata adalah tanaman hias yang cantik dan warna warni. Tapi mau bagaimana lagi, sang ayah lah yang ingin berkebun.

"Ayah, Nata mau tanaman hias di depan kayaknya bakal cantik deh."

"Tidak bisa Nata, lebih baik sama yang bermanfaat. Nih cabe rawit, bawang daun, tomat. Jadi kalo Nata mau masak bahannya ada disini."

"Di pot gimana?"

"Ya boleh, pot kecil aja yang di gantung. Di bawah jangan. Mau ayah tanami daun herbal."

Padahal niat hati ingin banyak di pot meski tidak bisa di kebun.

Keluarga Hinata berasal dari kalangan biasa saja. Ayah Hinata adalah seorang pensiunan guru. Menduda sejak Hanabi balita, sampai sekarang ia enggan untuk menikah lagi. Setelah pensiun, ia belum memutuskan untuk memulai usaha apapun selain hobinya berkebun.

"Ayah sudah makan belum?"

Gadis itu menghampiri sang ayah yang sedang bersantai di ruang keluarga. Seperti biasa tontonan favorit penggugah jiwa katanya, siapapun yang nonton itu pasti bakal tobat. 

Dia meletakkan teh hangat dan juga beberapa cemilan.

"Sudah, tadi ayah manasin makanan yang kamu buat." Matanya masih fokus pada layar televisi.

"Syukurlah. Kalo gitu ramennya buat Hana aja."

"Ramen? Kenapa gak bilang beli ramen?" Hiashi menoleh ke arah putri sulungnya.

"Mana pernah bilang, biasanya ayah langsung makan aja." Hinata hendak berlalu dari hadapan ayahnya.

"Nata ayah mau bicara."

Hinata sudah tahu pembicaraan apa yang akan di bahas. Tapi berhubung dia sangat lapar, jadi ada sedikit penundaan halus.

"Boleh ayah, tapi Nata laper, makan dulu ya."

"Ayah temani. Ini penting demi kondisi ayah." Hiashi mematikan televisi, ia beranjak menuju ruang makan. Tak lupa membawa teh dan juga cemilan yang di bawa Hinata.

Hinata hanya pasrah. Ia segera pergi ke dapur dan menata ramennya. Memberi beberapa bumbu tambahan, saat di tasa cukup ia menuju meja makan disana ayahnya sudah menunggu sambil minum teh. Rasanya aneh di musim panas siang-siang minum teh hangat.

"Maaf ayah, Nata sambil makan ya? Tapi pas ayah bicara pasti Nata dengerin." Ucap dengan senyum manis. Ia mulai meniupkan ramennya dan memakannya.

Hiashi menyimpan kue keringnya yang tinggal setengah. Ia menatap putri sulungnya lama. Hinata itu gadis yang cantik juga manis. Tutur kata yang lembut, halus membuat kaum adam mengantri untuk jadi pendampingnya. Bahkan beberapa pria sudah berani melamarnya, tapi tidak ada yang di terima.

"Jadi Nata, mau nerima lelaki yang namanya Toneri itu?"

Berhenti dari makannya. Ia menatap sang ayah. Lalu menggeleng pelan. "Nata belum mau nikah ayah. Nata masih muda." Kembali melanjutkan makannya. Hal seperti itu sudah biasa sejak usianya 19 tahun.

Hiashi menghela nafas pelan. "Tapi ayah bisa kena diabetes tiap kali ada yang ngapel kamu bawa martabak. Apa gabisa yang lain?"

"Kan Hanabi suka bawa martabaknya ke sekolah." Jawabnya cuek.

Pelanggan Setia [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang