24. Menuju puncak

640 87 6
                                    

Malam ini, Naruto bisa bernafas lega. Tepat hari ini juga dia selesai dengan kontraknya. Meski tadi sempat ada beberapa perdebatan perihal perpanjangan kontrak yang di ajukan Shion. Sekarang dia berada di dalam bus untuk pulang ke apartemennya. Hatinya masih kesal karena ucapan Shion.

"Penjualannya bagus, aku akui mungkin berkat dirimu." Seraya menjulurkan tangannya memberikan selamat.

Naruto menerima uluran tangan Shion. Mereka berjabat tangan. "Syukurlah. Ah enggak, aku rasa kualitas produkmu yang memang bagus. " Naruto berusaha melepaskan tangan Shion yang semakin erat menggenggamnya.

"O-oh maaf." Shion tersenyum semanis mungkin. Lalu ia menyodorkan surat berisi perpanjangan kontrak unuk Naruto.

"Kau baca aja dulu. Aku yakin kamu gak akan nolak. Oh ya, gajimu udah di transfer. Termasuk bonus. Mumgkin kalo produk yang lain penjualannya bagus, bonusmu bisa nambah."

Naruto menerima surat tersebut. Tanpa membaca isinya, ia tahu isi surat itu. "Maaf, tapi aku enggak akan memperpanjang ini. Cukup sampai disini aja." Ucapnya yakin. Ia memberikan lagi berkas tersebut pada Shion. Tak lupa juga mengucapkan terimakasih karena dia menerima gajinya selama satu bulan ini.

Shion belum menyerah, wanitabitu melipat tangannya di depan dada. Ia menatap Naruto angkuh. "Naruto, kau lihat kan? Karirmu akan lebih baik dari pada kembali lagi berjualan ramen itu. Lagi pula penghasilannya tak menentu. "Naruto hanya diam tak menanggapi. Dia bersiap-siap untuk pergi dari ruangan itu.

"Apa kau yakin, istrimu akan bertahan di sisimu yang hanya seorang penjual ramen keliling? Kau harus berfikir realistis. Wanita jaman sekarang mana tahan hidup tanpa uang. Cinta aja gak cukup." Lanjutnya, ia sengaja memancing Naruto. Bibir merahnya tersenyum menyeringai saat Naruto masih tak bergeming.

Setelah mendengar penuturan Shion yang menurutnya pedas, pria itu memandang lurus mata lavender milik Shion. Bahkan tatapannya terkesan dingin. Seketika, Shion meneguk saliva nya kasar. "Terimakasih atas saran Anda. Tapi aku dan istriku sudah mempunyai mimpi bersama. Aku memang miskin, tapi ada istri yang mendampingiku membuat aku tak terpuruk dengan apa yang aku punya." Naruto membalikkan tubuhnya, ia hendak pergi tapi sebelum melangkahkan kakinya ia mengatakan sesuatu pada Shion.

"Kau tak perlu mengirim sisanya untukku. Ambil saja untukmu. Dan nikmati saja uang itu, sesukamu." Entah kenapa, Naruto merasa kecewa dengan ucapan Shion. Ia menyamakan semua wanita sama. Sama-sama haus akan uang. Pernah dia mendengar pepatah "tak ada uang, abang di tendang. Ada uang abang di sayang"
Tapi baginya, Hinata tak seperti itu. Justru beberapa kali dia menawarkan uang tabungannya untuk membantu usahanya. Sebagai pria, Naruto cukup mengerti. Sebisa mungkin ia tak ingin merepotkan istrinya. Justru dia bertekad untuk menjadikan dia ratu di hidupnya. Dari kecil, ia tak memiliki siapapun kecuali Paman Iruka, dan sekarang sudah ada Hinata di hidupnya. Ia ingin memiliki keluarga bersama Hinata, itu mimpinya yang baru.

Naruto pergi meninggalkan ruangan tersebut saat tak mendengar suara Shion lagi. Rasanya ia tak mau menginjakkan kakinya ke tempat ini lagi.

Naruto tersadar dari lamunanya saat sang petugas memberitahu tempat pemberhentiannya. Ia membenarkan letak topinya. Senyuman yang tak luntur di wajah tampannya. Ia setengah berlari menuju kawasan tempat tinggalnya, Naruto tidak sabar ingin bertemu dengan sang kekasih hati. Tapi sebelum itu, sempatkan dulu menemui Konohamaru. Hal itu selalu ia lakukan setiap hari, ia hanya ingin mengetahui perkembangan usahanya ketika di ambil alih Konohamaru.

"Seperti biasa Kak, ramenmu akan di buru. Kayaknya kamu juga udah punya banyak pelanggan setia."

Naruto tertawa mendengar itu, dia menerima uang hasil penjualannya hari ini. "Tetap Hinata yang akan menjadi pelanggan setiaku."

Pelanggan Setia [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang