19

1.7K 246 6
                                    

"Bisa?"

Jeongwok menggeleng lemah. Sudah seharian ia menghadapi komputer dan belum juga mendapat hasil apa-apa. Wajahnya sudah berubah kusut dengan rambut acaka-acakan. Sudah ada empat gelas bekas kopi di samping komputernya. Di belakangnya duduk Haruto yang setia menunggui juga Pak Jihoon yang sudah tertidur lelap. Waktu hampir tengah malam, dan Jeongwoo sama sekali belum makan sedari pagi.

"Master Jenius kita ini mau makan atau lanjut puasa?" tawar Haruto meletakkan dagunya di pundak Jeongwoo.

"Nggak usah, kopi aja lagi ya?"

"Enggak boleh. Harus makan. Makan malam ya?"

"Nasi goreng boleh?"

"Aih, manisnya. Boleh. Gue pesen keluar dulu ya." Haruto memeluk tubuh Jeongwoo sebentar, kemudian bersiap pergi namun dengan cepat Jeongwoo menggenggam tangannya.

"Kita makan keluar bareng aja ya?" minta Jeongwoo lembut.

"Nggak papa itu belahan jiwanya ditinggal Mas Jenius?"

"Nggak papa. Biar gue bisa sama lo terus." jawab Jeongwoo

"Oke. Kita makan keluar. Lo yang nyetir apa gue?"

"Jeongwoo aja."

Dan tawa keduanya menggema di dalam lorong sepi gedung NCB-Interpol. Sebagai lelaki dengan status tawanan Interpol, Jeongwoo cukup leluasa untuk berkencan dengan mantannya yang sebentar lagi akan dinikahinya paksa. Ia membawa Haruto ke sebuah warung kaki lima yang memang berjualan ketika malam tiba. Dipesannya dua nasi goreng dan teh panas. Sepertinya keadaan yang mereka lalui akhir-akhir ini cukup menyita banyak waktu. Mereka resmi berpisah tapi malah lebih lancar dalam urusan berkencan.

"Ini bisa dibilang kencan yah?" tanya Haruto sambil menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya.

"Hah? Ini makan bareng, masak kencan." jawab Jeongwoo polos.

"Hih! Maksud gue, dikategoriin kencan aja deh. Biar kalo ada yang nanya berapa kali kita kencan, kita bisa ngejawabnya."

"Emang sama ya makan bareng sama kencan itu?"

"Ya beda, cuma kencan itu kan bisa dalam bentuk makan bareng kayak gini, nonton, tamasya, pokoknya banyak deh."

"Ah, bingung."

"Udah, udah, makan yang banyak aja, biar cepet gede, terus nikahin gue."

Jeongwoo tersenyum bahagia saat Haruto mengusap rahang kokohnya. Jika ia harus merasa cemburu, sebenarnya ia sangat cemburu pada Cruel yang telah berhasil merebut perhatian Haruto dan mampu melindungi lelakinya sedemikian rupa. Namun si Jenius bisa apa ketika pesaingnya itu tidak ada dalam dunia nyata dan hanya muncul ketika ia memanggilnya?

"Ru." panggil Jeongwoo.

"Iya?"

"Apa kalo gue nggak balik lagi, lo bakalan ngejawab lamarannya Cruel?"

Haruto terdiam. Ia berhenti menyeruput teh panasnya seraya mendongak dan menatap wajah cute Jeongwoo. Dengan senyuman, Haruto menggenggam jemari Jeongwoo, "kalo gue jawab iya, apa boleh?" tanyanya.

"Kalo gue bilang nggak boleh?"

"Kenapa nggak boleh?"

"Pilihannya cuma satu, Sayang. Lo udah ngejawab iya?" Jeongwoo memandang wajah Harutonya penuh harap. Jelas ada sorot tak rela terluka di sana.

"Ah, gue bingung. Mau nerima Cruel, nanti lo sedih, mau nerima lo, lo belom ngelamar gue. Terus gue harus gimana?"

"Ajarin cara ngelamar itu kayak gimana! Nanti gue ngelamar lo."

Hurricane || jeongharu ✓ EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang