23 || bonus || A long night

2K 137 5
                                    

Wkwkw sengaja gw potong tengah-tengah

"Cantik." puji Jeongwoo  mengecup pundak Haruto dalam-dalam. Dihirupnya aroma manis dari pasangannya itu. Kini mereka telah resmi menjadi pasangan, meski sikap Jeongwoo masih terus berubah-ubah tak tentu.

"Dulu nggak cantik?" protes Haruto.

"Sekarang lebih cantik, Istri?"

"Ruel atau Jeongwoo?"

"Jeongwoo Park Buat lo, gue bakalan jadi Jeongwoo yang manis, buat orang lain, Cruel yang bakalan ngadepin."

"Kenapa tiba-tiba kayak gini? Jujur, gue kaget dan bingung. Ini adalah cara lo biar gue nggak nolak lo?"

"Bisa jadi." Jeongwoo berjalan ke arah gubuk bakso dan meraih satu mangkok yang masih panas. Seolah tidak perduli, Jeongwoi asik menikmati baksonya.

"Apa ini ada hubungannya dengan langkah Interpol ke depannya?" tanya Haruto masih berusaha mencari jawaban.

"Baksonya enak. Sesuai sama suasana dingin Bandung."

"Jeongwoo! Jawab gue!"

"Sayang, jangan ngerusak acara nikahan kita dengan pembicaraan berat soal Ever. Hari ini kita nikah dan gue cuma pengen ada lo, bisa?"

"Oke. Cruelnya muncul deh ah." keluh Haruto memanyunkan bibirnya.

Jeongwoo hanya menanggapinya dengan senyuman. Jika boleh jujur, ia benar-benar tidak ingin membahas tentang Everclear hari itu. Ada rencana besar dibalik pernikahannya yang ingin ia sembunyikan dari Haruto. Secara tidak langsung, ia benar-benar tidak ingin Haruto terlibat bahaya lagi.

Acara pernikahan kecil Jeongwoo dan Haruto selesai menjelang sore. Keduanya memilih pulang ke rumah orangtua Haruto sementara kedua orangtua Jeongwoo langsung ikut bersama rombongan Pak Jihoon ke Jakarta. Mereka harus mengejar penerbangan pagi-pagi sekali untuk kembali ke Spanyol. Di rumah Haruto memang tidak ada persiapan kamar pengantin dan sebagainya, namun begitu sampai, Jeongwoo langsung merebahkan diri di ranjang Haruto. Ia benar-benar kelelahan. Hampir 36 jam ia tidak tidur dan itu sangat menguras tenaganya.

"Mandi dulu Bos." ucap Haruto mengusap kepala suaminya lembut.

Jeongwoo tidak menjawab, ia tetap membenamkan wajahnya di balik bantal. Alih-alih menjawab tangannya justru meraih jemari Haruto dan menaruhnya di pundak, "pijit, Mam ..." rengeknya manja.

Haruto tersenyum sabar. Ia tahu suaminya kecapean dan butuh istirahat. Jeongwoo tidak mengeluh bukan karena ia sok kuat di depan pasangannya, tapi karena tanpa ia bicarapun Haruto sudah sangat memahaminya.

"Jadi jenius kita ini minta dipijit?" tanya Haruto lirih, Jeongwoo hanya menjawabnya dengan anggukan. "Bentar ya, gue bersih-bersih badan dulu." sambung Haruto seraya berdiri dari samping ranjang tempat Jeongwoo berbaring. Sebelum berpaling, Haruto memandangi lagi punggung suaminya yang tengah tengkurap itu. Lalu dihelanya nafas panjang. Jika ia merasa dikutuk karena menikahi seorang teroris, maka ia rela dikutuk selamanya. Bukan karena ia merasa telah termakan bicaranya sendiri, namun karena ia sadar, mencintai Jeongwoo adalah tanpa syarat. Penantiannya selama lebih dari enam tahun bukan hal yang setimpal untuk dibandingkan dengan status pekerjaan Jeongwoo yang tidak jelas. Jeongwoo bukanlah sumber penghasilan baginya namun sumber kebahagiaan. Jadi tanpa diberi nafkah oleh Jeongwoo pun Haruto tak akan merasa keberatan. Cukup menyanding sang pujaan akan mampu membuatnya tenang.

"Jeongwoo nggak makan lagi, Har?" tegur sang Mama yang muncul dari dalam kamar.

"Kecapean dia, Ma. Langsung tidur aja nggak sempet bersih-bersih juga. Haruto mau bangunin suruh dia ganti baju aja nggak berani. Kasian."

Hurricane || jeongharu ✓ EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang