15

1.9K 260 32
                                    

"Go on, shoot him!" perintah Yoshi tanpa belas kasih.

Jeongwoo masih berdiri tegang dengan tangan gemetar memegang senjata. Haruto hanya membisu tanpa mampu berbuat apa-apa. Ia pasrah. Jika memang harus berkorban nyawa, ia rela Jeongwoo yang membunuhnya. Ia tahu betul, Jeongwoo juga dalam posisi yang sulit. Melepaskannya berarti kehilangan kepercayaan dari Yoshi, atau membunuhnya yang berarti juga akan membunuh jiwa Jeongwoo.

"What you're waiting for?" tanya Yoshi lagi tak memberi pilihan untuk Jeongwoo.

"Oh, I can't Boss!" Jeongwoo menurunkan senjatanya dengan masih menahan leher Haruto dengan lengannya.

"Gue udah tau. Lo cuma bisa bikin bom tanpa bisa membunuh orang. Sini, biar gue yang tuntasin."

"Ver! Ini di bandara, lo gila apa? Inget! Sekali lo bunuh dia, abis udah lo. Ada satu Interpol di sini, yang lain pasti lagi siaga ngintai kita. Lo mau bunuh diri?"

"Gue nggak takut mati."

"Bukan itu masalahnya. Inget tujuan lo balik ke Indonesia buat apa? Kalo lo sampe ketangkap Interpol, tujuh negara udah siap menanti lo dengan kewarganegaraan baru lo itu!" Jeongwoo masih bersikeras mencoba membujuk Yoshi.

"Kalo gitu bawa dia. Kita bunuh di tempat yang orang lain nggak bisa menemukannya. Gue tetep nggak bisa ngebiarin dia hidup setelah tau wajah gue. Apalagi dia Interpol." tutup Yoshi kemudian berjalan mendahului Jeongwoo. Helaan lega jelas terdengar dari hembusan nafas Jeongwoo, ia merasa terselamatkan dengan kepribadian lemotnya.

"Lepasin gue!!" Haruto meronta sekuat tenaga.

"Kalo gue nglepasin lo, kita abis di sini. Semua rencana Interpol yang udah disusun rapi, hancur berantakan."

"Jadi lo memilih Everclear yang ngebunuh gue?"

"Lo pikir gue bakalan ngebiarin itu terjadi? Percaya sama gue, lo bakalan baik-baik aja. Bersikaplah sewajarnya dan jangan sampai Keparat itu tau lo mantan pacar gue. Oke?"

"Apa jaminannya gue harus percaya sama Cruel?"

"Ini. Berdetak cuma buat lo." Jeongwoo menarik jemari Haruto dan meletakkannya di dadanya.

Haruto pasrah saja saat Jeongwoo menariknya keluar dari bandara dan menghindari Interpol dan Densus 88 yang tengah bersiaga. Mungkin saja, kini statusnya menjadi tawanan teroris internasional.

"Kita nggak satu mobil sama dia?" tanya Haruto saat Jeongwoo membawanya masuk ke sebuah mobil yang ada di dalam parkir bandara.

"Untungnya enggak. Kalo iya, lo bisa aja terancam dan dibunuh di dalam mobil."

"Terus ini mobil siapa?"

"Banyak nanya ya lo? Tawanan tapi cerewet!" sentak Jeongwoo sambil terus waspada saat melintasi pos parkir.

"Terus aja dibentak-bentak, ditodong senjata, dimarah-marahin. Sebel!" Haruto memukul dashboard di depannya emosi. Bahunya naik turun tidak teratur saking kesalnya. Bahkan ia enggan memandang wajah lelaki yang tengah asik menyetir mobilnya. "Bahkan gue ngambek aja lo nggak perduli." lanjutnya.

"Terus gue harus gimana? Gue pusing mikirin nasib lo nanti, Harutokkk!" sentak Jeongwoo balik.

"Itu resiko pekerjaan gue, jadi nggak usah sok perduli."

"Sok perduli lo bilang? Lo pernah jadi bagian dari hidup gue bahkan sampai sekarang pun gue masih menganggap lo sebagai orang penting di hidup gue, udah seharusnya gue jagain lo, ngelindungin lo!"

"Kenapa? Harusnya lo gak usah repot-repot kayak gini."

"Damn!" Jeongwoo membanting setirnya ke kiri dan menginjak rem secara mendadak. Matanya yang tajam dengan sorot mematikan itu menatap Haruto lekat-lekat, "turun lo!" Teriaknya emosi.

Hurricane || jeongharu ✓ EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang