15. Dunia Baru

164 54 43
                                    



Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi aku tetap berjalan menghampiri Kaivan dan berdiri di sebelahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi aku tetap berjalan menghampiri Kaivan dan berdiri di sebelahnya. Saat mataku bertemu dengan matanya, ia memberikan anggukan dan aku mulai mengerjakan soal yang tidak terjawab itu.

Soal yang didapat Kaivan lebih rumit dari yang kukerjakan. Pantas saja anak-anak di kelas tidak bisa menjawab. Tapi, meskipun begitu ... aku pada akhirnya bisa menyelesaikannya.

Berikutnya adalah tugas yang berat. Menjelaskan bagaimana metode pengerjaan itu pada seluruh kelas. Saat aku berbalik memunggungi papan tulis dan melihat semua mata kini sedang tertuju padaku, lututku tiba-tiba terasa lemas. Aku memaksa bibirku untuk mengucapkan sesuatu. Namun, tidak ada orang yang bisa mendengar suara yang keluar. Telingaku sendiri pun tidak bisa mendengarnya.

"Biar gue yang jelasin," sahut Kaivan tiba-tiba merebut spidol hitam yang ikut gemetar di tanganku. Aku melirik ke arahnya. Apa dia serius? Bukannya dia enggak bisa ngerjain soalnya tadi?

Kaivan mulai menjelaskan bagaimana cara memecahkan soal phytagoras di papan tulis menggunakan jawabanku. Suaranya lantang tanpa ragu sedikit pun seakan yang tertulis di papan itu adalah jawabannya sendiri.

Bagaimana ia bisa membaca pikiranku? Dan apa-apaan itu? Jadi dia sudah paham sejak awal? Dia sama sekali tak membuat kesalahan saat menjelaskannya.

"Bagus. Jadi begitu cara menjawab soal di depan. Apa kalian semua sudah paham?" tanya Pak Jafar tiba-tiba mengambil alih. Beliau berdiri di depan kelas bersamaku dan Kaivan. "Kalau sudah paham dan dicatat, semuanya boleh pulang."

Mereka semua bergegas kabur meninggalkan kelas meski beberapa tidak mencatat dengan sengaja. Aku berjalan untuk kembali ke kursiku yang kosong, namun Pak Jafar menahanku.

"Tangan kamu kenapa, Bella? Kok diperban?" tanya beliau tiba-tiba berubah lembut.

"Jatuh di kamar mandi, Pak," jawabku mengingat apa yang disampaikan oleh Kaivan dengan baik. Aku melirik ke arahnya dan ia memberikan ancungan jempol. Apaan? Apa itu perlu?

"Sudah diobati? Hati-hati ya, kok bisa sampai jatuh?" Meskipun sangat terkenal killer di kelas, Pak Jafar sebenarnya pribadi yang sangat baik dan perhatian. Aku benar-benar mengagumi profesionalitasnya dalam bekerja.

"Sudah kok, Pak. Besok palingan juga sembuh."

Aku kembali ke kursiku. Barang-barangku masih aman di dalam tas ransel, aku bahkan belum sempat mengganti pakaian olahragaku dengan seragam normal. Meski begitu, aku tidak peduli. Lagi pula sudah jam pulang. Aku segera mencari handphoneku untuk menghubungi Pak Bambang dan minta dijemput.

Tapi, baru saja aku buka handphoneku, aku justru sudah menerima chat WhatsApp dari Pak Bambang.


Pak Bambang

Non, hari ini sy tdk bs jemput.


My SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang