80. Yang Dirahasiakan

86 28 36
                                    

Aku membasuh wajah dengan air kolam renang sampai sudah tidak ada lagi jejak air mata. Lalu, aku menarik napas dalam-dalam sebelum bangkit.

Mengatur kembali sistem pernapasanku sudah bukan lagi hal yang sulit. Semakin lama, aku mulai terbiasa mengendalikannya. Apa yang baru saja terjadi ... semuanya akan segera kembali normal seperti biasanya. Aku hanya perlu menunggu.

Hanya waktu yang kubutuhkan untuk sekarang.

Di saat perasaan sedang kacau dan pikiran mendadak terasa kosong seperti saat ini, aku tidak ingin sendirian. Aku takut sendirian.

Rosa dan yang lainnya masih belum juga kembali. Aku harus menghampiri mereka. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Lucky dan Toni. Apa mereka benar-benar baru saja menghajar seseorang tak dikenal dan kini sedang terlibat masalah yang belum terselesaikan?

Lagi pula, sejak kapan Kaivan berdarah? Apa dia sengaja menyelam berkali-kali untuk menyembunyikan lukanya? Menghilangkan darah yang masih tak mau berhenti sampai ia akhirnya pergi tanpa mengatakan apa pun lagi?

"Bella." Lucky menatapku dengan sebelah mata. Karena matanya yang lain tertutup oleh perban.

"Hei ... apa yang terjadi?" Perasaanku semakin tidak enak. Apa yang terjadi padanya?

"Sini duduk. Sorry, jadi nungguin gue." Lucky menarik tanganku. Aku tak menolaknya kali ini. Apa lagi ia terlihat seperti meringis menahan sakit saat melakukannya.

Rosa dan Toni baru saja muncul bersama Ani dari sisi lain bangunan berbentuk jamur itu. Kulihat Toni membawa sebuah kantong plastik berisi obat-obatan.

"Diminum buat ngilangin nyerinya," ujar Toni sambil memberikan kantong plastik itu pada Lucky.

Ani menyodorkan sebuah botol air mineral yang masih penuh.

"Thank you. Sorry banget. Gue enggak nyangka bakal jadi kayak gini." Lucky masih meringis. Dia tersiksa. Aku harus membantunya.

"Sini." Aku merebut obat yang harus Lucky minum dan mengeluarkannya, menyiapkannya untuk Lucky sementara ia hanya menatapku lekat-lekat.

"Makasih."

Lucky segera meminum obatnya lalu kembali bersandar di punggung kursi kayu yang entah sudah berapa lama menjadi tempatnya beristirahat.

"Kaivan mana, Bell?" Ani menanyakan sesuatu yang hampir saja berhasil aku lupakan.

Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya. Tidak mungkin aku memberi tahu Ani apa yang telah terjadi antara aku dan Kaivan selama mereka tidak ada. Tidak mungkin aku menjelaskan kalau Kaivan pergi karena aku memintanya berkencan dengan Ani.

Aku menghela napas panjang. Pada akhirnya, aku harus mengatakan sesuatu, bukan?

"D–dia ada telepon dadakan. Katanya penting dan dia harus pulang duluan." Aku semakin mahir dalam mengarang cerita.

Ani mengangkat sebelah alisnya sambil menatapku dengan tatapan tak percaya, seakan ia bisa membaca isi pikiranku saat ini.

"Eh, dari Mama Vida? Apa jangan-jangan tanggalnya sudah ...." Rosa tiba-tiba menyahut dengan kalimat yang tidak kupahami. Sejujurnya, tidak ada yang paham.

Rosa tak melanjutkan kalimatnya, ia lalu menatapku. Terlihat seperti sedang berpikir keras.

"Lupakan. Tapi sebaiknya kita pulang saja sekarang. Lucky sakit gitu." Rosa tiba-tiba mengambil keputusan mendadak.

Semuanya mengangguk. Aku pun juga ... ingin pulang.

"Yuk, ganti baju dulu!"

🦋🦋🦋

My SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang