Sebuah semicolon digunakan saat seorang penulis sebenarnya bisa mengakhiri sebuah cerita, namun memutuskan untuk tidak melakukannya. Penulis itu adalah kamu, dan cerita itu adalah hidupmu. - Project Semicolon.
Ini adalah cerita tentang Bella, gadis...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kaivan datang. Lalu apa? Apa yang bisa ia lakukan?
Dadaku kembali terasa sangat sakit saat aku berhenti menggores tanganku sendiri. Jantungku kembali berdegup dengan ritme aneh yang membuatku mual dan sakit perut sekaligus.
Aku mengabaikan Kaivan dan tanganku bergerak untuk mengambil jarum yang telah terjatuh tak jauh dariku.
Aku kembali terisak, namun aku tidak menciptakan suara tangisan yang keras karena aku menggigit bibirku sendiri sampai aku bisa merasakan rasa amis di lidahku.
"Aku mohon ... hahhh ... kurangi sakitku," bisikku pada benda kecil itu lalu kembali menggores tanganku yang sudah berdarah. Aku tidak bisa melihat kulitku di bawah lapisan cairan berwarna merah itu. Meski begitu, saat aku berhasil menciptakan goresan baru ... dadaku kembali terasa lebih ringan.
"Bella, udah ... please berhenti!"
Aku bisa merasakan dua tangan mencengkeram bahuku dan mengguncang tubuhku. Aku tahu itu Kaivan, tapi kenapa kalau itu Kaivan? Apa yang bisa dia lakukan? Percuma ... ia tidak mengurangi rasa sakitku seperti yang bisa dilakukan oleh jarum itu.
"Bellaaa." Suaranya yang berat tiba-tiba terdengar aneh, seperti gemetar dan putus asa. Namun, aku tetap enggan untuk mengangkat wajahku dan menatap matanya. Sudah kubilang, Kaivan tidak mengubah apa pun.
Aku terus menggores tanganku ... sakit di dadaku. Mengingat kembali bayangan Rosa yang menatapku dengan tatapan benci yang tak pernah kulihat dari mata orang lain sebelumnya.
Aku memejamkan mata dan menggores lebih dalam. Bahuku tiba-tiba terasa ringan, satu tangan sudah tidak lagi mencengkeramku.
"Bella, gue mohon. Jangan kayak gini. Gue mohon lo jangan kayak gini, Bella, berhenti ... please berhenti buat gue."
Suara Kaivan. Entah sampai kapan ia akan berusaha. Entah sampai kapan ia akan tetap di dekatku.
Aneh ... kenapa tidak ada lagi sakit di tanganku?
Di waktu yang bersamaan ... aku bisa mendengar suara rintihan kesakitan dari Kaivan, mendesis seperti ular yang malu-malu menampakkan dirinya.
Ada yang tidak semestinya?
Aku membuka mataku kembali. Perlahan karena rasanya mataku telah melekat satu sama lain akibat terlalu banyak mengeluarkan air mata. Aku bisa merasakan sekeliling mataku mulai membengkak.
Aku masih menggores, aku yakin jarum itu berhasil mengenai sesuatu dan menyayatnya. Tapi di mana rasa sakit yang kubutuhkan? Kenapa tangan kiriku hanya merasa perih seakan tidak ada lagi sayatan baru?
"Gue enggak mau lo kayak gini terus Bella. Gue enggak bakal biarin lo nyakitin diri lo sendiri kayak gini. Gue enggak mau lihat lo lukai kulit lo sendiri kayak gini."
Mataku tak sengaja menatap matanya. Jarak wajahnya begitu dekat. Sangat dekat sampai aku bisa melihat dengan jelas kalau kedua matanya yang tajam seperti mata elang itu sudah berkaca-kaca dan berubah menjadi merah. Bahkan kulit wajahnya yang putih pun ikut memerah.