Sebuah semicolon digunakan saat seorang penulis sebenarnya bisa mengakhiri sebuah cerita, namun memutuskan untuk tidak melakukannya. Penulis itu adalah kamu, dan cerita itu adalah hidupmu. - Project Semicolon.
Ini adalah cerita tentang Bella, gadis...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tiga hari telah berlalu sejak kejadian yang tak akan pernah kulupakan seumur hidup. Pagi itu, aku sudah datang ke sekolah pagi-pagi sekali dengan seragam olahraga.
Kelas XII IPA 7 sudah ramai, memang hanya pelajaran olahraga saja yang membuat mereka semua rajin.
Saat aku datang dan berdiri di depan pintu kelas. Mereka menatapku dengan tatapan aneh. Tidak, bukan tatapan iba maupun merasa bersalah. Mereka menatapku dengan tatapan yang sama seakan peristiwa yang terjadi dua hari yang lalu itu tidak pernah terjadi.
"Pagi semua!"
Rosa dan Ani berjalan melewatiku dari belakang. Ani dengan sengaja membenturkan bahunya dengan bahuku sebelum menyapa anak-anak di kelas dengan tangan kanan terangkat.
Aku benar-benar seperti tidak terlihat di depannya.
"Eh, Sa, nanti malem jalan sama Toni lagi enggak?" tanyanya sudah merangkul bahu Rosa di depanku. Aku hanya menatap mereka dari belakang, meremas tas ranselku tanpa mengucapkan apa pun.
"Iyalah, kayak biasanya ya, An."
"Enak yaa yang pacaran terus tiap hari di taman!" sahut Icha tiba-tiba menyeletuk saat mendengar percakapan antara Rosa dan Ani.
"Eh, kok lo tau?" tanya Ani dan Rosa kompak.
"Ya rumah gue deket taman. Kayaknya dari kemarin-kemarin gue lihat kalian mulu sama Toni sama Lucky sampe bosen."
Ani dan Rosa tampak segera lari menghampiri Icha lalu Rosa membungkam mulut gadis itu dengan segera.
Aku tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. Aku penasaran untuk mendengar kelanjutannya. Namun, sebelum aku mencuri dengar lebih jauh, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.
Kaivan menatapku tanpa menurunkan wajahnya sedikit pun. Berdiri diam di belakangku seperti patung.
"Kamu ngapain, Kai?"
"Berdiri."
"Iya, ngapain berdiri di situ?"
"Nemenin lo."
Aku mengernyit dan segera berjalan masuk menuju tempat dudukku sebelum mendengar sesuatu yang sangat aneh sekali lagi dari mulut Kaivan.
Mataku bergerak kembali menatap Icha, Rosa dan Ani yang sudah terpisah. Rosa dan Ani sudah duduk di kursi mereka sementara Icha terlihat tidak senang. Meski begitu, ia tak mengucapkan apa pun dan hanya menggerutu sambil mengeluarkan sebuah botol minum dari dalam tasnya.
"Kenapa sih?"
Kaivan kembali mengagetkanku. Ia menggebrak mejaku pelan dan sudah menarik kursinya untuk mendekat ke tempatku.
"Kenapa sih, Kai?"
"Lo kenapa pagi-pagi udah mikir gitu mukanya? Enggak ada PR kok hari ini. Enggak ada ulangan juga."