60. Lomba Dance

93 36 31
                                    

Lomba modern dance ternyata jauh lebih meriah daripada yang aku kira. Tempat dilaksanakannya acara sudah sangat penuh saat aku datang bersama Kaivan yang entah kenapa memaksa untuk ikut dengan alasan ingin menonton boygroup SMA Pemuda Bangsa. Ya ... meskipun boygroup itu paling banyak mendapatkan pendukung sih.

"Rame banget, serius mau nonton? Enggak ada tempat duduk gini?" gerutu Kaivan sambil berjalan di sebelahku, masih memakai seragam futsalnya.

Selama berjalan bersamanya melalui keramaian, berkali-kali aku melihat mata yang bergerak secara serempak untuk menatap Kaivan. Aku bahkan bisa mendengar mereka langsung berbisik heboh dengan teman-temannya saat aku dan Kaivan lewat.

"Eh, itu anak SMA Garuda ganteng banget."

"Kok ada cowok se-ganteng itu nyasar di SMA Garuda, ya?"

"Tau tuh. Padahal kan pabriknya cogan di SMA Pemuda Bangsa."

Aku mengernyit saat tak sengaja mendengar bisikan-bisikan itu. Aku tidak tahu apakah Kaivan juga mendengarnya atau tidak karena kulihat ia tidak bereaksi sama sekali. Bahkan, saat aku sedang melihat ke arahnya, ia justru sudah menatapku lebih dulu.

"Apa?" tanyanya mendahuluiku.

"Kok?"

"Lo ngapain lihatin gue terus dari tadi?"

Yang benar saja.

"Yeee ... siapa juga yang lihatin kamu. Ge-er."

Baru saja aku hendak mendorong Kaivan agar sedikit menjauh dari sisiku, tiba-tiba seseorang menabrakku dengan keras dari arah belakang, menghantam bahuku.

Brakk!

Aku tidak terjatuh, sebuah tangan melingkar di pinggangku dan di detik yang bersamaan, aku bisa melihat kedua mata cokelat terang milik Kaivan, sangat dekat dengan mataku. Kaivan berhasil menahan tubuhku dan menarikku agar kembali berdiri sendiri.

"Kalo jalan lihat-lihat dong!" bentak Kaivan tiba-tiba berubah menjadi sangat dingin, bahkan tatapan matanya pun terlihat mengintimidasi.

Aku melihat dua anak cewek yang sepertinya salah satunya tak sengaja menabrakku itu membungkuk refleks untuk meminta maaf.

"Sorry ... bener-bener enggak sengaja."

Aku bisa melihat wajah salah satunya terlihat ketakutan dan aku tahu kenapa. Kaivan menatapnya dengan tatapan mata elang yang sedang mengincar mangsa.

"Eh, enggak apa-apa kok," ucapku merasa tidak enak pada cewek yang tidak kukenal itu. "Kai, udah, enggak apa-apa, malah dilihatin orang kan jadinya."

Aku benar-benar harus menarik tangan Kaivan untuk pergi dari tempat itu. Aku akan membawanya ke tempat yang lebih nyaman.

"Ayo, pergi!"

Kaivan tidak menolak dan berjalan mengimbangi langkahku sekali lagi. Ia bahkan tidak keberatan sama sekali meski aku menariknya seperti anak kecil yang minta dibelikan mainan. Aku tidak peduli dengan mata-mata yang melihat ke arah kami lagi. Sebagian besar di antara mereka adalah orang yang tidak aku kenal, jadi ... untuk apa aku memikirkan tatapan aneh itu?

"Penampilan selanjutnya dari SMA Garuda!" seru pemandu acara dengan suara lantang melalui microphone. Seruan itu otomatis menghentikan langkah kakiku dan menarik Kaivan untuk menatap ke arah panggung dari tribun tempatku berdiri di lantai atas.

"Eh, sudah giliran Rosa!"

Aku tidak tahu apa yang akan Kaivan pikirkan. Yang jelas, mata dan pikiranku sudah menghadap ke arah panggung. Tim dancer dari SMA Garuda—yang terdiri dari tujuh orang perempuan dengan Rosa sebagai center—naik ke atas panggung.

My SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang