Sebuah semicolon digunakan saat seorang penulis sebenarnya bisa mengakhiri sebuah cerita, namun memutuskan untuk tidak melakukannya. Penulis itu adalah kamu, dan cerita itu adalah hidupmu. - Project Semicolon.
Ini adalah cerita tentang Bella, gadis...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Ngapain woi!" seru Rosa dari tempat duduknya, suaranya yang nyaring berhasil menenggelamkan suara anak-anak yang lainnya.
Saat aku menatap matanya, Rosa memutar bola matanya lalu bergegas membantu Ani untuk berdiri kembali dengan tangannya.
Aku menelan ludah, tidak tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Rosa menepuk rok Ani lalu kini matanya menatapku sinis.
"Lo ngapain pake dorong-dorong? Udah jagoan lo sekarang?!" Rosa membentakku. Dengan lantang dan tanpa ada sedikit pun keraguan. Meskipun bibirnya sedikit gemetar, aku yakin itu karena emosi yang meluap di dalam benaknya.
"Dia yang mulai," ucapku dengan suara aneh, mencicit seperti tikus yang terjepit di selokan.
Brakkk!
Aku tidak pernah tahu kalau hal itu akan datang.
Sakit. Pinggangku membentur tepi meja kayu di belakangku hingga meja itu terdorong ke depan. Rosa baru saja mendorongku, melakukan hal yang sama dengan apa yang kulakukan pada Ani. Tanpa alasan yang jelas kenapa ia melakukannya. Aku kan tidak mengusiknya?
Aku meringis, dan sepertinya reaksi itu berhasil membuat Rosa tersenyum sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Sakit? Apa masih kurang? Lo kira itu cukup buat gantiin rasa sakit sahabat gue?"
Aku mencengkeram tepi meja itu dengan kedua tanganku. Tidak mengubah sedikit pun posisiku saat ini.
"Cih. Kenapa diem aja? Mendadak bisu lo sekarang? Perasaan tadi bisa tuh bentak orang!"
Tidak tahu. Aku tidak tahu siapa yang sebenarnya sedang berbicara padaku. Tubuhnya, wajahnya, tatapannya dan suaranya itu adalah Rosa sahabatku. Tapi ... kenapa kata-katanya sekasar itu? Bahkan sampai membungkam anak-anak lain yang ada di kelas.
"Semua dari lo tuh palsu tahu gak, Bell? Gaya doang pendiem kayak yang paling tersakiti di dunia ... tapi aslinya bejat juga. Norak pacaran di kelas, mesum lagi. Sekarang, berani main tangan ke anak lain lagi. Perlahan, sikap asli lo tuh keluar semua tahu enggak? Lo sadar enggak sih kalo lo tuh palsu?!"
Aku mencengkeram tepi meja itu lebih erat. Orang yang baru saja kuselamatkan dari malapetaka paling buruk sebagai seorang siswa ... dikeluarkan dari sekolah, justru memakiku dengan makian yang tidak jelas, mengarang cerita. Untuk apa? Apa tujuannya?
"Tch ... mulai lagi deh, pantes aja Bu Afia bilang lo jago akting. Orang tiap hari aja lo udah akting, sampe bingung yang mana lo yang asli kan?"
Rosa terkekeh aneh. Aku benar-benar tak mengerti, tak mengenalnya lagi. Siapa dia? Kenapa kalimatnya itu benar-benar seperti orang yang tak pernah mengenalku sebelumnya?
"Lo tuh udah tahu habis cemarin nama kelas mah punya malu dikit kek, pindah kelas gitu minimal! Malah balik cengar-cengir kayak enggak punya salah. Seneng lo jadi pusat perhatian? Itu kan yang lo impikan dari dulu?"