Sebuah semicolon digunakan saat seorang penulis sebenarnya bisa mengakhiri sebuah cerita, namun memutuskan untuk tidak melakukannya. Penulis itu adalah kamu, dan cerita itu adalah hidupmu. - Project Semicolon.
Ini adalah cerita tentang Bella, gadis...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hari yang sangat cerah untuk mengawali hari Selasa.
Seperti biasa, Pak Bambang menurunkanku di depan gerbang sekolah. Kali ini aku tak langsung berjalan masuk melewati gerbang sekolah itu. Aku justru menatap bangunan itu dalam diam. Sejak kapan, sekolah terasa asing bagiku? Padahal ini sudah menjadi tahun ketigaku di sana. Firasat apa ini? Apa hanya perasaanku saja?
"Pagi, Bella! Lo udah sehat?" Adid membuatku kaget dengan tepukan dipunggung yang sedikit kasar dan membuatku terhuyung ke depan. Ia tersenyum sangat lebar. Rambutnya dikuncir ekor kuda dan dahinya tertutup oleh poni pendek. Dia memang sangat manis.
"Sudah kok, sehat banget malah," jawabku mencoba untuk membuatnya tidak mengkhawatirkanku sekali lagi.
"Ahh ... pasti habis dijenguk sama Kaivan nih kemarin!"
Aku mengerjap sambil menatap jari telunjuk Adid yang teracung ke arahku.
"Tuh, tuh, tuh, diam aja. Berarti beneran habis dijenguk Ayang Kaivan kan lo, Bell? Pantes aja sembuhnya cepet."
"Apaan sih, enggak ada hubungannya tahu. Lagian aku juga udah sembuh sebelum Kaivan dateng."
Aku mengabaikan Adid yang terus menggodaku dengan kalimat-kalimat yang menurutku tidak perlu. Aku masih ingat dengan sangat jelas kalau Kaivan hanya menganggapku teman. Ia tidak menyukaiku dengan cara yang ada di dalam pikiran Adid. Ia tidak ingin berpacaran dengan siapa pun.
Adid mengejarku dan berusaha untuk mengimbangi langkah kakiku saat masuk ke dalam wilayah sekolah dan harus melewati lobby yang berbentuk seperti sebuah terowongan dengan berbagai jenis papan pengumuman tertempel di dinding kedua sisinya.
Namun hari itu berbeda. Terowongan itu tampak jauh lebih ramai daripada biasanya seakan ada sebuah pengumuman yang cukup besar dan berhasil menarik seluruh perhatian anak-anak di sekolah.
Aku tidak bisa lewat karena jalan itu buntu.
"Eh, awas dong jangan di tengah jalan! Pada ngapain sih?!" seru Adid dengan suara lantang. Kali ini aku senang karena ia berada di sisiku, aku tidak perlu mengucapkan apa pun dan hanya menunggu sampai mereka menepi.
Namun ... bukannya menepi, mereka justru hanya berbalik dan kini kompak menatapku dengan tatapan aneh seperti sedang melakukan scanning pada tubuhku dari atas kepala sampai ujung kaki.
"Minggir dong! Astaga pada kenapa sih malah jadi pagar!" bentak Adid mulai kehilangan kesabaran.
Meski begitu, aneh ... bukankah seharusnya orang-orang di hadapan kami menatap Adid yang terus berteriak? Kenapa justru memperhatikanku dan menganggap seolah suara Adid tak terdengar?
"Ini nih, cewek ganjen, gatel, pelacur!"
Tiba-tiba di antara barisan anak-anak dari kelas yang berbeda di SMA Garuda itu muncul Ani yang berhasil membuat anak-anak yang lain menepi untuk memberinya jalan.