41. Jatuh

114 38 35
                                    

"Kamu itu makanya kalau main tuh inget waktu! Jangan sampe lupa gak makan, udah tahu punya maag

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu itu makanya kalau main tuh inget waktu! Jangan sampe lupa gak makan, udah tahu punya maag. Kalau kambuh gak bisa ngapain-ngapain gitu masih saja susah dibilangin!"

Aku masih meringis dan mencengkeram perutku yang semakin sakit saat aku duduk di bangku belakang mobil. Mama terus memarahiku dengan hal-hal yang tidak aku mengerti.

"Lagian kamu bukannya fokus les kemarin, malah nginep di rumah Rosa segala! Mama kan udah bilang kurang-kurangin nginep di rumah Rosa. Kamu mau mamanya Rosa anggep mama enggak ngurus kamu? Kamu seneng mama dihina sama orang?"

Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang mama bicarakan dengan nada membentak di dalam mobil itu.

Kulirik Pak Bambang hanya diam dan fokus menyetir memperhatikan jalan yang sedang macet.

"Ke–kenapa sih, Ma?"

Mama melotot ke arahku. Sekarang aku yakin, warna wajahnya yang telah berubah menjadi merah itu sepenuhnya karena ia marah. Bukan karena ia sedang mencemaskanku.

"Udah jangan cengeng. Tahan. Salah sendiri enggak mau makan tepat waktu. Itu hukuman dari alam namanya karena gak dengerin pesan mama."

Aku menghela napas panjang. Percuma bertanya. Sebaiknya saat ini, aku memikirkan denyutan aneh di perutku yang menyakitkan dan mencoba sebaik mungkin untuk menahannya.

Saat ini, aku baru sadar kalau perutku seperti membuncit keluar. Dan saat aku menekannya, rasanya sangat keras seakan tidak ada lagi ruang di dalamnya. Penuh sesak.

"Sakit," erangku mulai panas dingin. Tenggorokanku tiba-tiba terasa penuh seakan ada yang ingin keluar.

Tapi tatapan dingin mata mama membuatku terpaksa menelannya kembali.

Akhirnya tiba juga di rumah.

Papa sedang menonton berita di televisi saat aku datang.

"Kamu kenapa? Sakit apa, Bella?" Papa tiba-tiba berdiri dari sofa untuk menyambutku yang berjalan dengan langkah terseret. Aku memakai seluruh sisa energiku untuk sampai di pelukan papa.

"Biarkan saja, Pa. Anakmu itu sudah mulai nakal, sulit dibilangin. Biar dia tahu kalau dia sudah salah!"

Mama melempar tas selempangnya begitu saja di lantai. Mendarat tepat di kakiku. Sakit. Rasanya tubuhku semakin sensitif kali ini.

"Kenapa sih, Ma?"

Papa membantuku duduk di atas sofa.

"Tadi pas di sekolah, coba Papa tebak apa yang Mama lihat?" sinis mama membuatku semakin sesak. Aku bahkan bernapas melalui mulutku sekarang.

Papa tak tahu tentu saja. Lagi pula, apa lagi kali ini yang akan mama bahas? Apa tidak sebaiknya memberiku obat lebih dulu, Ma?

"Anak gadismu ini! Digendong pacarnya! Papa mau tahu siapa pacarnya?!"

My SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang