My Luna (Hinakage)

2.1K 148 20
                                    

Omegaverse au

.
.
.

"Tobio, jika sudah dewasa mau menjadi apa?"

"Seorang setter." jawab bocah lima SD dengan polosnya. Pergelangan tangan kanannya tengah digandeng sang kakak sedang tangan kirinya menggenggam sebuah bola voli.

"Ihh gemasnya.." Para wanita sepantaran Miwa itu tak dapat menahan diri untuk tidak mencubit pipi gembil si Kageyama bungsu.

"Uhh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Uhh.." Mata Tobio menyempit, berusaha mentolerir sedikit rasa sakit akibat cubitan gemas para oneesan.

Perbincangan basa-basi yang hanya sebentar itu pun berakhir. Tobio dan sang kakak lanjut berjalan menuju sebuah gedung latihan voli di mana kakek mereka berada.

Sejak kecil, Tobio sudah menunjukkan kecintaannya pada voli. Bisa dibilang juga bahwa blueberry bundar itu adalah seorang anak dengan bakat alami. Ia punya kepekaan dan intuisi yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak sepantarannya yang juga bermain voli.

Setter, menara tim, seorang yang paling banyak menyentuh bola, dan mengendalikan permainan, itu adalah tujuan hidupnya.

"Dia anak yang manis.."

Kageyama Kazuyo, kakek Tobio, tersenyum usai mendengar kalimat dari istrinya. Cucu bungsu mereka memang anak yang manis, wajah bundar dengan mata belo yang berbinar polos, dia adalah warisan keluarga yang paling berharga.

"Ya, jadi apapun dia nantinya, aku hanya berharap dia akan lebih sering tersenyum.." ujar Kazuyo seraya memandangi Tobio kecil yang terus-terusan merengut gemas.

.
.
.

"Yang bertahan berdiri di lapangan sampai akhir hanya yang terkuat." Di antara hembusan angin sore, kedua tangan Tobio mengerat beserta dua alis yang menukik.

Pada anak tangga di hadapannya, berdiri lelaki ginger kecil yang barusan dengan terang-terangan menantangnya. "Lihat saja aku pasti akan mengalahkanmu!"

Tangan Tobio semakin mengerat, tanpa mengatakan apapun lagi ia melangkah pergi. Langkahnya terasa berat seolah kakinya terjeruji rantai besi. Sekolahnya juara namun ia tidak merasa menang sama sekali.

Duduk dibangku pinggir setengah permainan. Apa-apaan dengan orang-orang itu dan tatapan mata mereka. Semuanya masih membelas jelas di benaknya.

Raja lapangan.

Frustasi, kesal, kecewa, marah, semuanya bercampur jadi satu dan sayang sekali Tobio tak tahu bagaimana cara melepaskan semua rasa itu. Di dalam kamar, di atas meja belajar, kepalanya tergeletak. Bahkan untuk menangis pun air matanya tak mau keluar.

Ini lebih buruk dari mati rasa. Seluruh perasaan berkecamuk menjadi satu bagai sampah tanpa tahu cara menghilangkannya, benar-benar membuat gila.

.
.
.

Tok tok tok

"Tobio.." dari balik pintu, Miwa menyandarkan kepalanya. "Tidakpapa.. Masih banyak sekolah lain, Seijo—"

"Aku tidak mau ke sana!" di atas ranjang, Tobio memeluk lututnya sendiri dengan kecewa. Surat penolakan dari Shiratorizawa tergeletak menyakitkan di lantai. Kenapa kesialan bertubi-tubi ini terus menerpa.

Membayangkan dirinya bergabung ke dalam tim voli terkuat seprefektur, dia layak untuk berada di sana. Egois katanya? Tidak bisa bermain? Enyah. Tobio ingin memgumpat pada tembok dan udara.

Semua begitu runyam sampai-sampai ia membekap bantal ke mukanya terlalu kencang. Beban di hatinya terasa semakin banyak dan berat seolah tak satupun dari beban itu mau keluar membiarkannya bebas. Jangankan untuk tersenyum, sehari tidak mengamuk saja rasanya susah.

.
.
.

"Ee! Apa yang kau lakukan di sini?!!"

Suara nyaring memekakkan telinga, Tobio terpaksa menghentikan servisnya guna melihat ke sumber seberang. Segera keningnya mengerut. Lagi-lagi orang cebol berisik itu, batin Tobio.

Hinata Shoyo

Dari pada menggubris, Tobio lebih memilih menghiraukannya. Ia kembali bersiap melakukan servis, namun tanpa disangka Hinata justru berusaha me-receive, mengakibatkan bola jadi terpental diluar kendali. Kepala sekolah yang kebetulan masuk ke gimnasium pun menjadi korban.

.

"Selama ada aku di sisimu, kaulah yang terhebat. Apa salahnya jadi raja lapangan? Menurutku itu keren."

Mata Tobio melebar sebelum melempar handuk di pucuk kepalanya pada Hinata.

Meski samar terlihat, garis bibirnya melengkung ke atas. Sedikit menertawakan kalimat yang barusan didengarnya karena untuk pertama kali, ia merasa diterima dan tak dipersalahkan. 

Apa jadinya aku, tanpa Hinata Shoyo

.

"Omega?" Mata Hinata melebar, di bawah langit malam bertabur bintang, lelaki bersurai ginger itu menghentikan sepeda.

Terlihat kepulan napas keluar dari bibir tipisnya yang terbuka. Di pertengahan musim dingin, di tahun ajaran kedua, tepatnya setelah secondary gender Tobio terkuak.

Tobio di depan menghentikan sepeda. Pastilah berat untuknya, menjadi omega artinya dia harus menanggalkan mimpinya untuk menjadi seorang pemain voli profesional dan menara tim.

Mungkin, ini bukan pertama kalinya Hinata mendengar Tobio menangis. Tapi, ia bisa merasakan gelenyar kesedihan yang medalam dari lelaki blueberry di depannya.

Brakk

"Hei.." Hinata menjatuhkan sepeda untuk menghampiri Tobio. Lelaki biru itu masih mengusap-usap matanya. "Kageyama.. Ini bukan akhir.."

"Sudah berakhir.. Aku sudah kalah darimu."

"Jangan putus asa—"

"Diamlah Hinata!" Tobio menepis tangan yang berusaha merengkuh pundaknya. Matanya pun menyorot pada sepasang marmalade yang lebih pendek. "Kau tidak usah hiraukan aku."

Kening Hinata mengerut, bentakan dari Tobio seolah tak membuatnya gentar sama sekali. Ia pun maju dan mencengkram kedua lengan si biru. "Aku tidak mungkin tidak menghiraukanmu baka! Kau masih bisa main! Jangan menyerah!"

Bibir Tobio mengatup dan menjadi keriting, air matanya semakin banyak membuatnya menangis seperti anak kecil.

Brak

Sepeda Tobio jatuh ke tanah sedang kepalanya jatuh ke pundak Hinata. Yang lebih pendek harus menahan jinjit sambil memeluk tubuh bongsor Kageyama.

"Hinata.. Aku masih ingin berada di lapangan.." Tobio membalas pelukan lebih erat.

.
.
.

"Pergi? Apa maksudmu pergi?"

Mata Hinata membulat selepas nendengar kalimat perpisahan dari mantan teman setimnya. Sejak bulan lalu Tobio sudah tak pernah datang lagi untuk latihan dan sekarang ia tiba-tiba berpamitan untuk pergi, apa-apaan?

"Kau sudah dengar. Aku akan ikut kakakku pindah ke Tokyo. Tidak ada alasanku untuk bertahan di sini."

"H-ha?"

Tanpa sepengetahuan Tobio, Hinata tengah menggenggam sebatang mawar di belakang punggungnya. Ia ingin menyatakan perasaannya sore ini, menyatakan betapa besar rasa kagum dan sukanya pada Tobio, terlebih secondary gendernya yang akhirnya terkuak sebagai seorang alpha, dia ingin menjaga Tobio.

Tapi, semuanya di luar prakira. Momen yang ia nanti-nantikan justru berubah jalur menjadi sangat menyakitkan.

"Kageyama.."













Mini Book Series (Kageyama Bottom)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang