Perempuan keturunan Perancis berparas cantik itu sedang tidak baik-baik saja sekarang. Ia memasang wajah garangnya. Urat-urat di pelipisnya sampai menonjol keluar. Membuat siapa saja dapat melihat garis uratnya dengan jelas.
Calista duduk sambil menekuk lutut di pojokan ruangan. Ia selalu melakukannya ketika ia menangis dan terpuruk. Seperti sebuah kebiasaan.
Ia tidak mengerti kenapa usahanya sia-sia. Ya! Dia tidak bisa meluluhkan hati Azkha. Padahal dia sudah berusaha sejuauh ini, namun Azkha pada akhirnya tetap saja memutuskan kontrak dengannya dan memilih kembali pada perempuan yang Calista anggap pengganggu itu—Alzha.
Hatinya selalu terasa pedih tiap kali Calista memikirkannya. Tanpa diminta air mata sudah mendesak keluar dari pelupuk matanya. Lalu dengan angkuhnya air itu menetes bergantian melalui pipi Calista.
"Kenapa?! Kenapa kau memilih dia?! KENAPA AZKHA???!!!" teriak Calista sejadi-jadinya. Tak ada yang menyahut, tentu saja. Apartemen lantai 30 itu hanya dia yang menempati. Tidak ada orang lain yang ingin berada di tempat setinggi itu.
Tangis Calista semakin pecah. Mengingat begitu besar perasaan yang ia miliki untuk Azkha. Untuk lelaki yang amat berarti bagi hidupnya.
"SIALAAAANNNN!!!! KENAPA KAU TAK PERNAH ADIL PADAKU, TUHAN? KENAPA??!! KAU SELALU MEREBUT KEBAHAGIAAN DARIKU!!" Gadis itu lagi-lagi berteriak. Seperti orang kesetanan. Ia hampir tak pernah bisa mengontrol emosinya yang meluap-luap.
Ketika emosinya memuncak, gadis itu berusaha menahan sekuat mungkin. Giginya mulai beradu dan gemelutuk. Tubuhnya bergetar hebat. Kini yang bisa ia lakukan adalah menggigit bibirnya sendiri. Terus menggigitnya sampai gigi-giginya menembus daging.
Darah segar mulai menetes dari bibir bawahnya. Menodai baju putih yang ia kenakan.
"Aku mencintaimu Azkha! AKU MENCINTAIMU!! Kenapa kau terus saja menolak perasaanku?! Apa yang salah dengan perasaan ini?!" Suaranya melemah diakhir kalimat.
Kali ini ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Kuku merahnya yang runcing kini menusuk daging telapak tangannya. Lagi-lagi darah mengalir dari sana.
"Sa-sakit ... ini menyakitkan." desisnya melemah sembari mengangkat kepalan tangannya dan menyaksikan darah yang menetes deras disana.
Calista merasakan sakit yang perih luar biasa di telapak tangannya. Kukunya yang sengaja ia buat runcing di tiap ujungnya, akan mengingatkan ketika emosinya memuncak. Saat ia mulai mengepalkan tangannya, kuku-kukunya akan menusuk telapak tangan. Ini memberinya alarm untuk mengontrol emosi. Dan jangan heran, ini memang sudah jadi kebiasaan Calista.
"Hiks ... hiks ... Sialan! Aku sudah mencapai batas. A-aku tak bisa mengontrol emosiku." Calista masih terus menangis dan mencoba meregangkan kepalan tangannya yang masih mengepal rapat-rapat. Membuat telapak tangannya semakin tertusuk dan darah mengalir semakin banyak.
"Lihat saja nanti! Aku akan membalasmu!! Jika kau berani mengambil Azkha dariku, maka aku akan mengambil nyawamu!!" bentaknya nyalang. Matanya melotot lebar-lebar seperti nyaris keluar.
Kali ini Calista mulai meregangkan tangannya yang terus mengepal dan bergetar. Ia mati-matian berusaha menguasai emosinya sendiri.
***
Sam sedang berada di ruang tamu rumah Alzha. Ya! Dia memutuskan untuk datang kemari sepulang dari cafe tadi. Dan sekarang Alzha sedang mengambil minuman untuknya.
Sam menarik napas dan membuangnya dengan cepat. Ia tampak memikirkan sesuatu. Apa dia harus menjelaskan semuanya, ya?
"Kenapa kau tumben sekali datang kemari?" ujar Alzha yang muncul tiba-tiba lalu meletakkan segelas lemon di meja.
"Entahlah ... aku hanya ingin kemari," jawab Sam sekenanya.
Alzha duduk bersila di lantai. Ia sedang sibuk memainkan laptopnya.
"Apa kau sedang membuat design? Eh ... itu ..." Sam mencoba mendekat ke laptop Alzha untuk melihat design yang Alzha buat. Tapi ternyata salah. Alzha tidak sedang membuat design melainkan sedang menatap foto seseorang. Foto Azkha.
"Aku merindukannya, Sam," desis Alzha lirih. Seperti sedang merasakan rindu dan sedih yang berkecamuk di hatinya. "Kapan dia akan kembali dari LA?" tanya Alzha lebih pada dirinya sendiri.
"A-al, sebenarnya si Azkha itu sudah ..."
"Sudah pulang?" Alzha memotong cepat dan wajahnya terlihat antusias menantikan kelanjutan ucapan Sam.
"Azkha itu su-sudah keterlaluan padamu. Dia meninggalkanmu berbulan-bulan dan tidak memberimu kabar," ucap Sam bohong. Tidak, tidak. Ia belum siap untuk mengatakan yang sesungguhnya. Bagaimanapun ini kesempatan emas untuk Sam. Jika keduanya terus salah paham, maka Sam akan lebih mudah masuk ke dalam hati Alzha.
"Huh ... kukira kau akan mengatakan kalau Azkha sudah pulang. Ternyata bukan, ya." kegembiraan di wajah Alzha langsung hilang seketika. Berganti dengan wajah muram, lagi.
"Eh, .. anu .. Mana mungkin dia pulang, kan. Kalau dia pulang pasti dia akan kemari."
"Benar juga, sih." Alzha merengut.
Alzha tiba-tiba berdiri. "Aku mau mengambil coklat dulu, entah kenapa aku membutuhkannya untuk membuat perasaanku lebih baik," pamitnya.
Alzha melangkah secara serampangan dan entah apa yang membuat kakinya tersandung, ia kehilangan keseimbangan dan nyaris terjatuh. Sam refleks berdiri dan hendak menangkap tubuh Alzha. Namun bukannya tertangkap, Sam malah terbawa jatuh dan akhirnya mereka terjatuh ke lantai bersamaan.
Sam berada di atas Alzha, tangannya ia gunakan untuk menopang tubuhnya supaya tidak menindih Alzha dibawahnya. Jarak wajah mereka begitu dekat. Keduanya terpaku dalam tatapan. Cukup lama.
"Eeh ... maafkan aku." Sam akhirnya sadar dan segera menarik tubuhnya.
"Tidak. Aku yang minta maaf. Aduuh pakai terjatuh segala." Alzha memukul kepalanya sendiri dengan pergelangan tangannya.
Brruuuummmm ....
"Eh, kau dengar itu? Seperti baru saja ada mobil yang pergi dari halaman rumah?" tanya Alzha.
"Ah ... aku tidak dengar. Mungkin hanya perasaanmu saja," jawab Sam. Ia memang tak dapat mendengarnya karena ia sedang sibuk dengan jantungnya yang berpacu kencang saat itu.
***
Aku menginjak gasku kuat-kuat. Sialan. Aku terlalu emosi.
Kau tahu apa yang baru saja aku alami?
Ketika aku pulang dan ingin menjelaskan semuanya pada Alzha, ketika aku sampai di halaman rumahku, ketika aku baru saja hendak membuka pintu, aku melihat suatu pemandangan yang menakjubkan dari jendela. Entah siapa lelaki yang ada di dalam bersama Alzha. Mereka sedang ... sedang ... entahlah. Aku tidak terlalu jelas melihatnya.
Yang aku ingat posisi mereka saat itu sangat mesra dan intim. Mungkin pria itu adalah pacar Alzha? Apa aku ... terlambat?
"ARRGGGHHH... kenapa semua ini terjadi?!?" Teriakku pada diri sendiri.
Kalau begini caranya percuma saja aku menemui Alzha. Tidak ada gunanya lagi aku jelaskan semuanya pada Alzha. Soal perasaanku dan keputusanku. Tidak ada gunanya lagi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
With Love White Love
RomanceREPUBLISH Sebagian cerita di-private, follow untuk membaca :) Sinopsis Perjodohan memang terdengar klise! Alzha Alviola-sosok wanita mandiri yang bahkan belum pernah merasakan jatuh cinta-tiba-tiba saja harus menikah dengan Azkha Andrean Jonathan...