Tiga tahun berlalu.
"Sudah kubilang jangan mainkan laptopku, dasar bodoh!" maki Azkha pada anak lelaki kecil yang berdiri termangu dengan wajah hampir menangis.
"Tuh, kan, datanya hilang semua! Pekerjaanku semala berminggu-minggu lenyap dalam sekejap!" Mata Azkha melotot lebar. Ia menatap horor anak lelaki berumur dua tahun yang sedang sesenggukan.
"Azkha! Kamu ini! Kenapa Alvaro dibuat menangis?!" bentak Alzha yang baru saja selesai sholat sembari menghampiri mereka.
"Huaaaa ... Mama ... Papa jahat!" Alvaro berlari dan memeluk Alzha sembari sesenggukan.
"Sudah, ya, sayang. Jangan menangis lagi. Biar Mama hukum Papa dulu," ujar Alzha sembari mengelus kepala Alvaro.
Azkha memutar bola mata sebal. Ia mendecih sekali lantas menyolot ke arah Alzha, "Apa?" katanya yang mendapati pelototan Alzha.
"Sudah kubilang jangan bersikap kasar pada anak kecil!" Bentak Alzha yang kini mengais Alvaro kecil yang menyembunyikan kepalanya di leher Alzha.
"Mau bagaimana lagi! Dia menghilangkan dokumen perusahaan yang sangat penting. Bisa mati aku kalau dokumen itu tidak ada!" Azkha ikut melotot tak terima.
"Tapi aku tidak suka melihatmu membentak anakku!!"
"Hei ... kau lupa kalau setan kecil berkepala botak itu adalah anakku juga?!" Azkha mencibir sembari menunjuk setan kecil yang ia maksud.
"Apa katamu?! Setan kecil?! Dasar kau saja monster yang membenci anak kecil! Perbaiki sikap burukmu!" Alzha kini menjewer telinga Azkha sampai merah. Yang di jewer hanya bisa berteriak kesakitan.
"Malam ini kau tidak boleh tidur bersamaku!" Alzha mengeluarkan senyum devilnya.
"Hei ... ini tidak adil! Kenapa aku yang harus menderita? Jangan lah, Al!" protes Azkha.
"Biar saja! Sebelum kau mengubah sikap burukmu itu aku akan terus menyiksamu!"
Alvaro mengangkat wajahnya dari leher Alzha. Ia lantas menengok menatap wajah Azkha yang keki setengah mati dengan mata polosnya. Entah kenapa pandangan polos dari mata Alvaro diartikan sebagai ledekan oleh Azkha.
"Apa kau lihat-lihat?!" bentak Azkha dengan pelototan tajamnya.
"Huaaaa ... Mama!" Alvaro kembali menangis dan memeluk Alzha.
"Azkha!!!"
***
16 tahun kemudian ....
Keempat anggota keluarga itu tengah berkumpul di meja makan untuk sarapan pagi.
"Pa, aku minta uang buat beli gitar baru, dong!" rajuk seorang anak lelaki yang kini duduk di bangku kelas tiga SMA.
"Aku juga, Pa, aku harus beli peralatan make-up baru." Gadis berusia 16 tahun sampingnya ikut bersuara.
Sosok pria paruh baya yang dipanggil Papa itu mendelik sebal. "Uang lagi, uang lagi, kalian pikir cari uang itu gampang, hah?"
"Sudahlah, Kha. Berikan saja kenapa, sih?" Alzha yang duduk di sampingnya memberi masukan. Kini sosok Alzha lebih dewasa dan tetap cantik walau di usianya yang awal 40-an.
"Aku cuma mau kasih uang kalau kebutuhan kalian benar-benar mendesak. Alvaro, kamu mau beli gitar untuk apa?" Azkha beralih menatap Alvaro.
"Itu, lho, Pak. Gitarku rusak dan band-ku harus tampil untuk acara perpisahan sekolah nanti. Aku harus latihan, Pak. Wah ... bisa kecewa berat para fans-ku kalau aku mainnya jelek," jelas Alvaro sambil menggeleng-geleng berlebihan.
"Dasar narsis! Kayak punya fans saja!" cibir Aretha dengan bibir mengerucut.
"Eits ... jangan salah. Cowok tampan dan keren sepertiku tentu saja punya fans dimana-mana." Alvaro membanggakan diri.
"Kau pikir dari mana wajah tampanmu itu? Tentu saja karena gen dariku. Berterimakasihlah!" Azkha menimpali dengan angkuhnya.
"Dasar sombong!" Alzha menatap Azkha dengan delikan sebal.
"Tapi kamu harus ingat Varo, jangan menjadi playboy seperti pria arogan di sampingku ini!" ujar Alzha seraya beralih menatap Alvaro.
"Hahaha ... jadi Papa dulunya playboy, ya?!" ledek Aretha dengan tawa geli.
"Hei ... hei ... jangan turunkan wibawaku di depan anak-anak, dong!" Azkha memanyunkan bibirnya dan ketiga orang disekitarnya terawa renyah.
"Ya sudah. Papa belikan gitar yang baru."
"Yeeayyy!!" Alvaro berteriak heboh sambil meninjukan kepalan tangannya ke udara.
"Kalau Retha gimana, Pa?"
"Kamu ... kamu mau beli apa tadi?"
"Katanya mau beli make-up Pa, dia kan mau kencan sama si Sena. Itu lho ... anaknya Om Samuel sama tante Viona." Yang menjawab adalah Alvaro. Tentu saja dengan nada mencibir.
"Hei ...!!" Aretha meninju lengan Alvaro keras sampai empunya meringis.
"Jadi kamu pacaran dengan Sena, Retha?" tanya Alzha antusias.
Wajah Aretha memerah. Ia mengangguk kecil.
"Dasar, masih bocah saja sudah punya pacar! Papa tidak akan berikan uangnya!" ujar Azkha tegas.
"Pa!" Aretha mengangkat wajahnya menyolot sementara Alvaro tertawa meledek.
"Tenang, Re, biar Mama yang kasih uangnya!"
"Benar, nih? Horeee ...." Aretha kembali bersemangat.
"Alzha, sudah kubilang jangan manjakan anak-anak!" protes Azkha.
"Biar saja! Lagipula aku memberikan Aretha dengan uangku sendiri!" Alzha memeletkan lidahnya dan berhasil membuat Azkha keki setngah mati.
"Sombong, ya, mentang-mentang sudah jadi nyonya butik. Ya sudah ... kalau begitu aku akan mencari wanita lain yang lebih menurut padaku." Azkha beranjak dari duduknya lalu melangkah pergi. Berpura-pura bersikap cool.
"Hei ...!!" Dengan terburu-buru Alzha mengikuti pergerakan Azkha. Selanjutnya di ruang makan itu hanya bersisa Aretha dan Alvaro dengan wajah cengo.
"Heran, deh. Mereka kan sudah berumur. Tapi masih saja bersikap seperti anak muda." Alvaro menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Biarkan saja lah, Kak! Ah iya ... hari ini aku berangkat sekolah denganmu, ya?" pinta Aretha merajuk.
"Boleh, tapi bayar sesuai harga taksi, ya!" Alvaro memeletkan lidahnya dan berlari pergi meninggalkan Aretha.
"Hei!!"
Begitulah ... keluarga itu hidup dengan penuh ke-absurd-an. Namun jauh didalam hati mereka, mereka menyadari bahwa hubungan keluarga dengan nama yang kesemuanya berawalan huruf 'A' itu penuh dengan cinta, cinta yang tulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
With Love White Love
RomanceREPUBLISH Sebagian cerita di-private, follow untuk membaca :) Sinopsis Perjodohan memang terdengar klise! Alzha Alviola-sosok wanita mandiri yang bahkan belum pernah merasakan jatuh cinta-tiba-tiba saja harus menikah dengan Azkha Andrean Jonathan...