35. Terkuak

6.1K 104 6
                                    

"Yep. Dari tes DNA, rambut itu menunjukan bahwa pelakunya adalah ... "

Ada jeda setelah Romi mengatakan 'adalah', membuat Azkha tidak sabar.

"Adalah? Siapa pelakunya?" tanya Azkha tergesa-gesa.

"Ya, maaf. Tadi ada rekanku memanggil. Jadi tes DNA itu menyatakan bahwa pelakunya adalah ... orang luar. Tak satupun hasil tes DNA karyawanmu yang cocok dengan DNA rambut itu."

"A-apa?" Azkha gelagapan. "Kau serius? Yang benar saja!" ujar Azkha dengan nada tinggi dan mata mebelalak.

"Tentu saja aku serius. Dan tes ini sangat akurat. Tak mungkin ada kesalahan sedikit pun!" tegas Romi.

Azkha terpaku di tempat sambil menahan napasnya. Sendi-sendinya mendadak kaku seperti robot. Sulit digerakkan.

"Apa kata Romi, Kha?" Tio yang tak sabar akhirnya angkat suara.

"Tes itu ... tidak sesuai dengan DNA karyawan kita. Artinya, bukan orang Castindo cabang Jakarta, yang menjadi ... pelakunya," jawab Azkha tersenggal. Wajahnya begitu datar.

"APA?!" Tio ikut membelalak tak percaya. "Be-berarti ... " Ia lalu menengok ke arah Panji yang sedang memasang muka sebal luar biasa. Bagaimana tidak? Dia sudah dituduh dan disiksa oleh mantan bos dan bosnya sendiri.

"Pa-Panji ... " panggil Azkha lirih. Lidahnya terasa kelu. Tentu ia amat-amat merasa bersalah.

"Jika kau mau meminta maaf, aku tidak akan memaafkannya. Kalian keterlaluan. Aku bisa saja melapor ke pengadilan atas kasus penyiksaan tanpa sebab ini." Panji mencibir. "Sekarang lepaskan aku! Cepat!" lanjutnya kemudian dengan suara nyalang.

Tio dan Azkha segera melepaskan ikatan tangan Panji dengan sigap. Setelah itu Tio langsung mengeluarkan kotak P3K mini dari tasnya, hendak mengobati luka di wajah Panji. Sementara Azkha langsung berlutut di hadapan Panji. Wajahnya menyiratkan rasa bersalah dan penyesalan yang mendalam.

"Kumohon, jangan bawa masalah ini ke pengadilan. Kita selesaikan secara kekeluargaan saja. Sungguh, aku benar-benar menyesal. A-aku minta maaf!" ucap Azkha tulus. Dia sebenarnya sadari tadi dia hanya terbawa emosi karena keyakinannya bahwa Panjilah pelakunya.

Panji yang lukanya sedang diobati Tio hanya menghela napas pasrah. "Yah, sudahlah. Lagi pula, aku masih betah bekerja disini. Aku juga tidak mau cari perkara dengan pengadilan. Merepotkan."

"Su-sungguh? Terimakasih! Sekali lagi maafkan aku!" Azkha masih saja menundukkan wajahnya. Malu.

"Berhentilah berlutut di depanku, Tuan Azkha yang terhormat. Mau dikemanakan harga dirimu yang tinggi itu, hah? Oh, bahkan aku lupa saat SMA kau adalah orang yang paling berkuasa," sindir Panji dengan senyum miring.

"Aku tidak peduli lagi dengan harga diriku. Yang penting sekarang kau mau memaafkanku. Aku benar-benar malu dan merasa bodoh."

Panji menghela napas lagi. Ia lalu tersenyum tipis. "Aku tahu. Kau sebenarnya orang yang baik. Aku tahu kau suka menindas orang sewaktu SMA hanya karena hidupmu yang terlalu banyak beban. Yaah ... lagi pula itu hanya kenakalan masa SMA, kan."

Azkha langsung mendongkak. Kedua tangannya meraih tangan Panji, menyalaminya dengan penuh tenaga. "Terimakasih. Kau benar-benar mengerti aku, ya! Astaga aku menyesal pernah menindasmu waktu SMA dulu." Azkha memasang wajah sok terharu.

"Dasar sialan! Kenapa kau baru menyesal sekarang? Hey, sebenarnya berapa banyak orang yang kau tindas waktu SMA dulu? Mungkin saja diantara mereka ada pelaku sebenarnya," cibir Panji kesal.

"Bisa jadi sih, Kha." Tio ikut berpikir.

"Ah ... tidak.. tidak. Kurasa alasan sepele itu tak bisa dijadikan sebab. Mana mungkin hanya dendam kecil seperti itu dibalas dengan sesuatu yang besar seperti ini. Aku tidak mau asal tuduh lagi." Azkha memijat kening frustasi. Memang benar. Ia tak mau mengulang kesalahan yang sama–menuduh orang seenaknya. Sekarang ia berpikir kalau dendam semasa SMA tidak bisa dijadikan alasan untuk menuduh pelaku pencurian dokumen tersebut.

With Love White Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang