"kau sudah tau siapa nama anak ini?"
"Tidak, aku tidak tau."
"Aku akan memanggilnya Ana."
"KAU BENAR. NAMANYA ANA. HOREE SUAMIKU HEBAT" jerit Karin.
"Sssttt......jangan berisik, ini rumah sakit." Ucap sang suami sambil menempelkan jari telunjuknya ke bibir.
"Oke."
"Tapi bagaimana kau tau namanya? Dev memberi tau mu?"
"Tidak, aku nama itu terlintas di otakku."
"Lalu, ingin kau apakan anak ini? Kondisi nya tak kunjung stabil." Tanya Karin.
"Aku tau. Tapi sebelumnya aku ingin bertanya padamu. Ini mungkin menyakiti hatimu, kita duduk saja dulu." Ajak sang suami duduk di sofa yang ada di ruangan itu.
"Ingin bertanya apa?"
"Apa kau keberatan memiliki anak angkat? Maksud ku adalah, kau ingin memiliki anak lagi?"
"Anak angkat? Kau ingin aku menerima anak ini sebagai anak angkatku? Apa...karena aku tidak bisa memberimu anak lagi?!"
"Maaf, bukan seperti itu. Maksud ku, anak ini adalah anak yang di tinggalkan orang tuanya. Aku tau kau ingin sekali memiliki anak perempuan, aku tidak bermaksud menyinggung perasaan mu. Jangan salah paham, jika kau tidak mau tidak apa-apa, jika sudah sembuh kita bisa memberikan nya pada panti asuhan." Jelas sang suami hati-hati agar tidak terjadi kesalahpahaman.
"Aku tau, entahlah. Aku ingin anak perempuan, tapi......apa semua orang akan menerimanya? Orang tua kita sangat menjunjung tinggi ikatan darah."
"Kau benar, akan sulit meyakinkan mereka."
"Tapi akan Ki coba! Pertama kita yakinkan anak-anak dulu."
"Kau yakin? Katakan saja jika aku menyinggung perasaan mu." Sang suami menggenggam lembut tangan istrinya.
"Tidak, aku tau ini. Aku merawatnya selama ini, aku sedikit senang melihat wajahnya. Omong-omong tentang wajahnya, katanya hari ini adalah hari dimana perban di mukanya akan dibuka. Aku ingin melihat wajah anak ini."
"Benarkah? Aku juga ingin tau."
"Kita tunggu saja, sebentar lagi dokter akan mengecek keadaannya."
Mereka menanti dengan bercakap-cakap ringan. Mengungkap rasa rindu dan sayang.
"Karin, aku sudah menyelidiki identitas anak ini secara detail. Selama di penjara aku menyuruh Dev mencari tanpa sepengetahuan mu. Aku tau identitas anak ini."
"Jadi kau tau namanya karena kau mencari identitas nya?"
"Tidak, di dalam namanya sama sekali tidak ada unsur nama Ana."
"Lalu....kenapa dia di panggil Ana?"
"Itu yang menjadi pertanyaan ku."
"Siapa nama aslinya?"
"Namanya Arin Elena Putri."
"Sama sekali tidak ada unsur Ana. Lalu kenapa di panggil Ana?"
"Aku juga tidak tau, aku masih menyuruh Dev menyelidiki."
"Setelah ini kau harus memberi Dev liburan."
"Tentu, aku akan memberinya..."
Tok
Tok
Tok
Perkataannya terpotong karena ketukan pintu. Dan muncullah dokter yang tersenyum canggung.
"Permisi." Kikuk sang dokter.
"Ayo dok, periksa dia."
"Baik nyonya."
"Tidak ada perubahan, masih seperti kemarin. Saya tidak yakin dia akan selamat." Ucap sang dokter setelah memeriksa.
"Tidak!! Dia harus selamat." Karin menyorot dengan tatapan tajam nan dingin.
"Sudah, sekarang waktunya membuka perban di wajah kan?! Buka lah, saya ingin tau." Tengah sang suami.
"Tapi saya butuh sedikit bantuan."
"Bantuan apa?"
"Kepala adalah tempat banyak luka, jadi akan sangat susah. Jadi saya meminta tolong bantuan kepada anda."
"Apa boleh di buka? Secara ia mendapat banyak jahitan di kepalanya."
"Boleh, ini hanya di bagian muka, tidak yang lain."
"Baiklah"
Suami Karin dan dokter dengan hati-hati mulai membuka perban di wajah anak kecil yang rapuh ini. Dan akhirnya, wajahnya terlihat. Kulit putih pucat yang kontras dengan bibir kecil yang pucat. Mata yang masih tertutup damai.
Namun, di pipi mungilnya terdapat luka yang masih belum kering. Luka seretan karena tertabrak. Di pelipis juga masih terlihat benang-benang jahitan. Seolah jika ada yang menyentuhnya, anak ini akan langsung tiada.
"Masih ada luka yang belum sembuh, saya akan menempelkan obat." Selesai dengan itu, dokter pun kembali dengan cepat. Hanya tersisa pasangan suami istri itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANA || LIANA
General FictionCuma gabut aja. Ide-ide kaga jelas di tuangkan semua. Kalo mau vote ya