Pemulihan Ana sangat lambat, tapi itu lebih baik daripada saat dokter bilang bahwa Ana tidak lagi bisa berjalan seperti anak normal.
Sudah 2 tahun lamanya setelah Ana sadar. Kini Ana sudah sedikit bisa berjalan. Terapi-terapi yang Ana dapatkan tidak sia-sia.
Walaupun sudah di anggap keluarga, namun Ana masih saja menjadi anak yang pendiam, kadang kadang Ana masih bertanya apakah mereka benar-benar keluarnganya.
Ana memang tidak mengingat apapun. Tapi Ana masih tidak percaya mereka benar-benar keluarnganya. Namun tetap saja, mereka selalu meyakinkan Ana.
Sekarang, Ana dan ibunya atau Karin sedang berada di taman rumah sakit. Setelah berlatih berjalan, mereka memutuskan untuk mengobrol ringan sambil menikmati bunga-bunga yang ada.
"Ana, sebentar lagi kau akan pulang. Ana mau apa?" Tanya Karin pada Ana yang sadari tadi diam memainkan bunga yang dipetiknya.
"Tidak." Jawab singkat Ana.
"Kenapa tidak? Mamah dan Papah tidak apa-apa jika Ana menginginkan sesuatu. Atau.... Ana ingin pesta?" Bujuk Karin.
"Pesta seperti apa?" Oke, sepertinya Ana susah mulai tertarik.
"Pesta seperti minum teh, makan-makan, potong kue, emm.... pokoknya banyak, Ana mau?"
"Ada banyak orang?" Tanya Ana dengan mata yang berbinar. Wajah polos dan pipi yang tembam nya membuat Karin sangat gemas.
"Tentu! Ana mau?"
"Ma- emm.... sepertinya tidak." Jawab Ana ragu.
"Kenapa?" Tanya Karin setelah melihat wajah sedih Ana.
"Tidak mau, wajah Ana menyeramkan, semua orang akan takut nanti. Kita tidak perlu mengadakan pesta." Cicit Ana pelan.
"Kata siapa? Ana adalah anak imut dan cantik. Kenapa Ana mengatakan itu?"
"Dulu.... semua orang menganggap Ana aneh karena wajah Ana ada luka. Semua orang takut, jadi kita tidak perlu mengadakan pesta."
"Sayang, semua orang boleh mencela, tapi Ana tidak boleh menyerah. Biarkan mereka, tidak perlu di dengar kata-kata negatif mereka. Kupu-kupu membutuhkan waktu untuk menjadi cantik, dan Ana juga begitu. Sekarang, Ana sudah Cantik, tidak ada orang yang menghina Ana. Oke?" Ujar lembut Karin. Ana yang mendengarnya berlinang air mata, saat air matanya hendak turun Ana cepat-cepat memalingkan wajahnya.
"Ana mau pesta?" Tanya Karin lagi.
"Tidak, cukup kakak, mamah, dan papah saja." Cicit Ana.
"Ana yakin? Kita nanti bisa mengundang banyak orang. Ana suka jika ada banyak orang kan? Nanti kita bisa mengundang teman-teman kakak, keluarga besar, bahkan rekan kerja papah. Ana mau?" Bujuk Karin lagi. Ia ingin Ana bersosialisasi, agar tidak terpaku dengan kondisinya.
"Ana suka, tapi Ana tidak mau. Kalian saja sudah cukup bagi Ana. Tidak perlu banyak orang." Kekeh Ana.
"Hei nanti ana juga bisa mendapat banyak hadiah lohh, Ana yakin tidak mau?" Lagi-lagi Karin membujuk Ana.
"Sudah mamah. Itu sudah cukup, Ana tidak mau hadiah. Kalian sudah cukup, titik. Ana tidak mau sama mamah lagi kalo mamah maksa." Kesal Ana.
"Mamah tidak memaksa loh, mamah kan bertanya." Elak Karin.
"Hmm." Malas Ana. Ana memilih diam sambil memainkan bunganya lagi.
Karin tau Ana sedang kesal. Sontak Karin terkekeh, gemas dengan ini. Ingin sekali rasanya Karin menggigit pipi Ana hingga menangis.
Dan sepertinya Karin sudah tidak tahan, akhirnya Karin memilih mencubit-cubit pipi Ana.
Ana diam, dan mulai berkaca-kaca. Sungguh pipinya sakit.
Plak
Entah kapan datangnya, tapi tiba-tiba ibu Karin atau Kartika tiba-tiba datang dan memukul kepala Karin.
"Kau apakan cucu ku?! Ha!?" Galak Kartika.
"Aww, aku hanya memainkan pipinya." Ringis Karin memegang kepalanya.
"Ana ku sayang.... apa ibu mu ini nakal, hmm?" Tanya Kartika sambil mengelus lembut pipi Ana.
Ana yang tau akan mendapatkan pembelaan pun mengangguk. Mengeluarkan air mata agar terlihat lebih nyata.
"Kan! Kau ini, sana! Pulang saja kau! Aku akan menjaga cucuku!" Usir Kartika.
"Aku kan ibunya." Bela Karin sedikit merengut.
"Aku neneknya, mau apa kau?" Sepertinya Karin sudah tidak bisa menang jika berhadapan dengan ibunya.
"Baiklah aku akan membawa Ana ke ruangannya." Ucap Karin yang bersiap membawa Ana.
"Tidak perlu. Kau pulang saja, aku akan mengajak Ana bermain dulu." Ucap Kartika ketus.
"Bu, kau ini kenapa? Sepertinya kau hari inj sinis sekali denganku."
"Suamimu dari tadi menerorku, memintaku pulang. Kau ini, kebiasaan. Hp itu di bawa, jangan di tinggal. Kalo kamu ngilang in Ana gimana?" Sungut Kartika berapi-api.
"Maaf Karin lupa."
"Sudah sana kau pulang dulu, suamimu merindukan mu. Eaaaa." Gurau Kartika kemudian.
"Baiklah." Pasrah Karin.
"Ana sekarang kita bermain di ruanganmu yuk?" Ajak Kartika manis, tidak seperti pada putri nya tadi.
"Sayang tolong angkat Ana ke kursi roda nya." Pinta Kartika.
Tubuh Ana terasa kaku, ia tidak terlalu dekat dengan kakek Faisal. Bukan, ia sangat takut dengan Faisal.
Faisal memandang tubuh kaku Ana dengan datar, tapi ia tetap menuruti perintah istrinya. Ia dapat merasakan ketakutan Ana.
"Ayoooo kita berangkat." Semangat Kartika
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
agak prik ygy.
Kaga tau mau nulis apa.
Pengennya tadi bikin ana nangis tapi masa baru awal udah nangis.
Jadi nangisnya di cancel dulu aja.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANA || LIANA
General FictionCuma gabut aja. Ide-ide kaga jelas di tuangkan semua. Kalo mau vote ya